oleh

Dijajah Dari Dalam

-Opini-32 views

Lusa, 17 Agustus 2025, bangsa ini akan kembali menggelar perayaan kemerdekaan yang ke-80. Tema nasional tahun ini Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju, terdengar gagah di spanduk, berkibar di baliho, dan terucap mantap di podium.

Tapi di balik gegap gempita upacara, ada realitas yang sering tak masuk naskah pidato, para kepala daerah yang ingin memajukan rakyatnya justru sering tersandera oleh “penjajah” dari dalam lingkaran sendiri.

Bukan Belanda, bukan Jepang. Musuh mereka kini berbentuk lingkaran setia, tim sukses haus jabatan, relawan lapar proyek, dan partai pengusung yang menganggap kemenangan sebagai hak waris untuk mengatur daftar nama yang harus masuk BUMD, OPD, atau daftar penerima proyek strategis.

Kepala daerah yang awalnya datang dengan niat lurus, terpaksa melengkung. Sebab jika menolak, ancamannya bukan senapan, tapi boikot politik dan sabotase mesin dukungan.

Maka cita-cita mulia “rakyat sejahtera” berubah jadi sekadar “rakyat menonton”. Yang sejahtera adalah “rakyat terpilih” di lingkaran kekuasaan.

Bung Karno pernah berkata, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”

Ironisnya, ucapan itu kini menjadi potret telanjang birokrasi daerah, kepala daerah harus melawan arogansi timnya sendiri yang merasa menang adalah tiket untuk menjarah.

Mohammad Hatta juga pernah mengingatkan, “Indonesia merdeka bukanlah tujuan akhir, melainkan jembatan untuk mencapai kesejahteraan.”

Namun, di banyak daerah, jembatan itu macet total, tertutup oleh gerobak kepentingan pribadi yang parkir di tengah jalan, sambil memungut “tiket masuk” dari rakyat yang ingin lewat.

Ki Hajar Dewantara mengajarkan prinsip Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Tetapi di politik daerah masa kini, prinsip itu dimodifikasi menjadi, Ing ngarso rebut proyek, ing madyo bagi jabatan, tut wuri asal aman posisi. Pendidikan moral kepemimpinan diganti pendidikan lobi anggaran.

Baca Juga:  Catatan Pinggir: Menggali Kuburnya Sendiri (1)

Sutan Sjahrir pun pernah memperingatkan, “Perjuangan yang benar adalah perjuangan untuk membela cita-cita, bukan perjuangan untuk mencari kedudukan.”

Sayangnya, bagi sebagian relawan dan tim pemenangan, kutipan itu terdengar seperti bahasa asing. Yang penting bukan cita-cita, tapi kursi.

Delapan puluh tahun setelah proklamasi, bangsa ini memang sudah merdeka dari penjajah asing. Tetapi di banyak daerah, kemerdekaan kepala daerah dari tekanan internal masih sekadar impian.

Perayaan kemerdekaan menjadi seperti drama panggung, penuh kostum, spanduk, dan pidato, tapi di balik layar, naskahnya disusun oleh aktor-aktor yang sama sekali tak peduli apakah rakyat tertawa atau menangis.

Kalau kepala daerah ingin benar-benar “Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju”  maka langkah pertama bukan sekadar menggunting pita proyek atau menggelar lomba 17-an, melainkan memerdekakan dirinya dari belenggu lingkaran dekat yang rakus.

Sebab kemerdekaan yang kita rayakan setiap 17 Agustus akan tetap terasa hambar, selama kepemimpinan masih dijajah oleh mereka yang mengaku pejuang tapi justru menjadi penguasa di belakang penguasa.

Wallahualam Bissawab, Tabik Mahappun Ngalimpuro

Oleh : Abung Mamasa

Pemimpin Redaksi Harian Kandidat

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed