Di sebuah malam yang lengket oleh kelembaban kota Bandar Ngapung, musik karaoke dari lantai atas Hotel Gorand Mancur meletup seperti mercon yang kehilangan kendali.
Suara sumbang bercampur dengan dentum bas, sementara meja bundar penuh botol dan gelas kaca.
Namun bintang malam itu bukanlah lima pemandu lagu mabuk yang memeluk mikrofon, melainkan butiran kecil narkoba jenis ekstasi berlogo transpotter dan milion yang ditaruh di atas piring porselen seakan-akan kudapan pesta.
Para pemuda itu, yang menyebut dirinya pengusaha muda, tidak sedang merayakan sukses usaha. Tidak ada pembicaraan tentang pasar, modal, apalagi inovasi.
Mereka justru sedang melupakan dunia dengan ekstasi, menenggak pil berwarna cerah yang konon memberi rasa seindah khayal. Nama-nama mereka harum di brosur organisasi, tetapi malam itu yang harum hanyalah sisa parfum bercampur keringat.
Rega Marga Lumbalumba, Bendahara organisasi besar yakni Himpunan Pengusaha Idaman Masa Ini (HIPIMI) Provinsi Lintung, duduk dengan tenang. Ia bukan siapa-siapa di jalanan kota, tetapi namanya berakar kuat di gedung legislatif, menantu seorang anggota dewan yang tersenyum di baliho setiap masa kampanye.
Wajahnya licin, matanya setengah redup, seakan tahu bahwa semua masalah hanya perkara angka.
Ketika pintu digedor, dunia yang mereka ciptakan runtuh seketika. Tim BADAN OLAH NARKOBOY EKSEKUSI NASIONAL (BONEN) Provinsi masuk dengan wajah tegas, sorot lampu dan suara instruksi menelan musik yang baru saja diputar. Gelas tumpah, dentum lagu terhenti, dan tubuh-tubuh panik kehilangan ritme.
Sebelas orang digiring keluar kamar, sepuluh di antaranya mengeluarkan hasil urine berwarna kuning yang tak terbantahkan. Positif narkotika, kata petugas. Barang bukti ditemukan yakni tujuh butir pil, empat dengan logo transpotter kuning biru, tiga bergambar milion kuning. Jumlahnya ganjil, dan justru dalam keanehan angka itulah rahasia keselamatan mereka tersembunyi.
Sebab hukum punya aritmetikanya sendiri. Delapan butir adalah ambang untuk jerat pidana. Tujuh adalah angka emas, angka yang menyelematkan. Apa yang telah ditelan tubuh tak lagi dihitung, yang dihitung hanyalah sisa di meja. Selebihnya hanyalah cerita yang larut bersama keringat malam.
Namun angka saja tak cukup. Malam itu, bersama tubuh-tubuh letih yang dibawa ke markas BONEN, ada pula uang yang ikut ditarik. Enam ratus juta rupiah, tergeletak seperti saksi bisu. Tak ada yang kaget, karena uang selalu hadir dalam drama semacam ini. Keesokan harinya, kabar beredar bahwa jumlah lebih besar yakni Rp 1,5 Miliar uang sogokan dari Rega, Bendahara HIPIMI.
Uang Dari Rega itu untuk menyelamatkan agar tidak menjalani rehabilitasi di Kantor BONEN dan melakukan rawat jalan saja.
Hari berganti. Kota membaca berita penangkapan itu dengan debar. Lima pengurus HIPIMI disebut, lengkap dengan inisial yang seakan menjaga martabat, padahal wajah mereka sudah dikenali publik. Tetapi debur kekecewaan masyarakat hanya bertahan sebentar, sebab kenyataan lebih cepat melupakan daripada mengingat.
Dan benar, kabar berikutnya membuat orang tersenyum miris. Para pengusaha muda itu sudah pulang. Tidak ditahan, tidak dikurung, hanya rawat jalan. Seolah-olah ekstasi hanyalah pilek yang bisa disembuhkan dengan vitamin. Di rumah masing-masing, mereka tidur nyenyak, kasur empuk menjadi pengganti jeruji besi.
Sementara itu, di jalan-jalan kota, rakyat kecil menatap getir. Mereka tahu, jika yang ditangkap bukanlah pengusaha, bukan menantu pejabat, melainkan tukang ojek atau buruh pelabuhan, tujuh butir itu tak akan pernah cukup untuk menyelamatkan. Satu linting pun bisa membuat hidup tamat, nama dipajang di media, tubuh diarak sebagai contoh.
Aktivis bersuara. Mereka menuntut kejelasan: apakah para pelaku hanya pengguna atau bagian dari rantai gelap perdagangan narkoba? Namun suara aktivis sering kali terdengar seperti gema di ruang kosong. Publik mendengar, tapi sistem seakan tuli.
Lalu kota kembali pada rutinitasnya. Mobil lalu-lalang, baliho dengan wajah tersenyum tetap tegak, seolah tak terjadi apa-apa. Tujuh butir pil itu telah menjadi dongeng baru, dongeng tentang bagaimana angka bisa menyelamatkan, bagaimana uang bisa menukar nasib, dan bagaimana hukum di negeri ini terkadang hanyalah panggung sandiwara dengan naskah yang sudah lama bocor.
Di warung kopi kecil, obrolan berlangsung getir. Seseorang menyeduh kopi hitam, asap mengepul, lalu berucap lirih:
“Di sini, narkoba bukan sekadar racun. Ia cermin. Cermin yang memperlihatkan siapa yang kuat, siapa yang bisa membeli keselamatan, dan siapa yang harus rela dihancurkan.”
Sementara para Petinggi BONEN Provinsi Lintung duduk tenang menikmati uang sogokan dari Rega dan Kwan-kawan yang jumlahnya fantastis.








Komentar