BANDAR LAMPUNG – Rapat Konsolidasi Pemuda Panca Marga (PPM) Lampung yang digelar Sabtu (6/9) justru mempertegas buramnya dualisme di tubuh organisasi. Alih-alih menjadi wadah memperkuat barisan kader, forum ini berubah menjadi panggung pengkondisian sepihak, di mana kubu Slamet Riadi tampil dominan dengan dukungan karateker yang semestinya netral namun justru diduga ikut bermain.
Sejak awal, aroma rekayasa forum sudah tercium. Undangan rapat tidak menyebar merata, hanya mengalir ke jejaring loyalis Slamet Riadi. Beberapa pengurus kabupaten/kota bahkan mengaku tidak menerima undangan resmi dan baru tahu lokasi acara ketika forum sudah berlangsung.
“Bukan konsolidasi, ini lebih mirip deklarasi terselubung. Kami hanya jadi pelengkap,” ungkap salah seorang pengurus yang hadir dengan nada kecewa.
Kecurigaan itu terbukti. Dalam forum yang juga dihadiri Ketua Bidang Organisasi dan Kaderisasi PP PPM, Agus Jayagunara, karateker Lampung Herbert Eka Putra dan Agusri Junaidi terang-terangan menyebut Slamet Riadi sebagai calon tunggal. Ruang demokrasi bagi calon lain praktis tertutup.
“Karateker seharusnya netral. Tapi yang terjadi justru mereka jadi pemain utama mengamankan kubu tertentu. Netralitas lenyap,” tegas sumber ini.
Lebih jauh, tindakan tersebut dinilai melanggar petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis (juklak/juknis) yang ditetapkan PP PPM. “Ini mencoreng nama baik PP PPM di bawah komando Patriani Paramita Mulia, yang selama ini berupaya keras menyatukan organisasi,” tambahnya.
Situasi janggal itu membuat forum kehilangan marwah. Rapat yang semestinya demokratis berubah menjadi pertunjukan satu arah. Banyak peserta merasa hanya dijadikan saksi atas skenario yang sudah disiapkan sejak awal.
Kondisi ini memperlebar jurang perpecahan di tubuh PPM Lampung. Alih-alih menjadi sarana rekonsiliasi, konsolidasi justru mempertebal ketidakpercayaan kader di akar rumput.
“Kalau konsolidasi saja sudah penuh pengondisian, jangan berharap PPM bisa solid. Yang ada hanya perpecahan berkepanjangan,” ucapnya.
“Ini bukan konsolidasi, ini pengkondisian. Karateker yang seharusnya jadi penengah malah jadi alat politik. Ironis sekaligus memalukan,” tandasnya
Komentar