Filosofi “The right man on the right place” sejatinya sederhana yaitu taruh orang yang kompeten di kursi yang tepat, biar mesin organisasi berjalan mulus.
Tapi di negeri kita, filosofi itu sering diganti dengan edisi lokal, “the loudest whisper on the right ear.”
Ya, sebab yang paling menentukan bukan ijazah, bukan pengalaman, bukan integritas, melainkan bisikan.
Seorang pejabat bisa punya segudang prestasi, lulusan terbaik, bahkan punya visi cemerlang.
Tapi semua itu bisa runtuh hanya karena kalah oleh satu bisikan manis dari orang yang lebih dekat dengan telinga penguasa.
Birokrasi kita sering lebih mirip kontes karaoke daripada sistem meritokrasi. Yang berbakat bukanlah mereka yang bekerja keras, melainkan mereka yang bisa menyanyi paling keras di telinga atasan.
Semakin lembut bisikan itu, semakin dalam kursi empuk bisa digenggam. Kompetensi? Ah, itu nomor seratus dalam daftar pertimbangan.
Tak jarang seorang pejabat yang bahkan tak tahu bedanya laporan keuangan dengan daftar belanja warung, bisa duduk di kursi bendahara hanya karena ada “bisikan surgawi” yang menjamin, “Tenang, dia orang kita.”
Atau seorang yang panik melihat peta bisa ditunjuk mengurus tata ruang, hanya karena seorang kerabat berbisik, “Dia bisa dipercaya, kok.”
Akademisi boleh berkoar tentang merit system, pakar manajemen boleh mengutip Gary Dessler atau Peter Drucker, tapi kenyataannya teori-teori itu sering kalah oleh ilmu yang lebih praktis yakni ilmu bisik-bisik.
Dan ilmu ini tak diajarkan di Harvard atau UI, melainkan di ruang-ruang belakang kantor, di meja makan, atau dalam acara arisan keluarga.
Maka jangan heran kalau birokrasi kita jalan di tempat. Bagaimana mau maju kalau posisi kunci justru diisi oleh “pemenang bisikan” alih-alih “pemenang kompetisi”?
Rakyat kebagian dampaknya, pelayanan publik lamban, program salah sasaran, dan pembangunan penuh tambal sulam.
Ironisnya, kepala daerah sering tampil gagah di panggung, berkata lantang: “Kami akan menempatkan orang sesuai kompetensinya!”
Namun begitu turun panggung, telinganya kembali lentur mendengar bisikan dari kanan-kiri. Pada akhirnya, bukan prinsip yang menentukan, melainkan seberapa licin lidah para pembisik itu.
Jika kondisi ini terus berlangsung, maka filosofi “the right man on the right place” hanya akan jadi slogan seminar, sementara praktik di lapangan berubah jadi “the right whisper on the right time.”
Dan kalau sudah begini, jabatan bukan lagi amanah, melainkan hadiah hiburan bagi para tukang bisik.
Sedangkan rakyat, seperti biasa, hanya jadi penonton setia yang membayar tiket dengan pajak dan sabar.
Wallahu a’lam bishawab, Tabikpun Mahhap Ngalimpuro
Komentar