Di provinsi Lampung, seperti di banyak daerah lain, ada satu kenyataan menyedihkan tapi hampir dianggap lumrah yaitu proyek publik itu dibebani “setoran” besar bahkan sebelum material dibeli, tenaga kerja digaji, atau pekerjaan selesai.
Fenomena praktik “setoran” dalam proyek pemerintah kian menjadi perhatian publik. Modusnya klasik, kontraktor harus menyisihkan sebagian nilai proyek untuk diberikan kepada oknum tertentu agar bisa memenangkan tender atau memperlancar pencairan dana. Akibatnya, proyek dikerjakan dengan anggaran yang sudah tergerus, sehingga kualitasnya jauh dari harapan.
Persentasenya diduga mencapai 25-30%, uang yang mestinya dipakai untuk kualitas, ketahanan, keselamatan, dan fungsionalitas, justru dialirkan ke pihak-pihak yang tidak ikut kerja fisik tapi punya kuasa dalam proses tender, pelelangan, sampai pelaporan.
Bayangkan, jalan yang harusnya kuat dilalui selama puluhan tahun, karena dipotong setoran, aspalnya tipis, bahan campuran diaduk asal jadi, penguat tanah diabaikan.
Gedung sekolah yang dikerjakan asal, instalasi listrik yang tak sesuai standar, lampu jalan yang watt-nya lebih rendah dari spek, atau kabel yang mestinya ditanam tapi malah digantung.
Rakyat membayar lewat pajak, membayar lewat jasa, tapi yang dikerjakan mirip pertunjukan, tampak di luar rapi, tapi dalamnya tak aman atau tak sesuai.
Fenomena setoran bukan cuma soal uang hilang. Ia merusak integritas pembangunan, memperlambat kemajuan, menurunkan kepercayaan publik, dan menyuburkan budaya “tawar-menawar korupsi” yang akhirnya menjadi bagian dari system ya “kalau mau proyek, ya sedekah dulu”.
Ongkos Politik
Setoran ini erat kaitannya dengan ongkos politik kepala daerah dan elit lokal. Untuk memenangkan pemilihan, diperlukan biaya kampanye besar berupa iklan, logistik, relawan, organisasi massa, patronase, dan segala “hadiah” agar didukung di akar rumput.
Biaya itu tak datang dari langit, harus dikembalikan lewat jabatan publik, lewat proyek, lewat dinas, lewat kontraktor yang “berhutang budi”.
Maka proyek jadi bank berjalan, kontraktor harus bayar “pra-setoran” dan pejabat dinas harus menyediakan “jatah” bagi tim sukses, partai, arisan politik lokal.
Ongkos politik ini menimbulkan tekanan internal, pejabat di dinas dan SKPD tidak hanya melaporkan ke publik atau bertanggung jawab terhadap mutu, tapi juga terhadap jaringan politiknya.
Dan ketika kontrol publik lemah, pengawasan internal abai, aparat hukum lamban, maka kombinasi ini jadi lahan subur bagi kebocoran proyek, mark-up, manipulasi spek, kolusi, nepotisme.
Pelajaran Dari Kasus Terdahulu
Di Lampung, beberapa kali publik diguncang kasus serupa. Kita tentu masih ingat bagaimana ada kepala daerah dan kepala dinas yang terseret ke penjara gara-gara praktik proyek yang penuh setoran.
Kasus itu menjadi pelajaran pahit bahwa ongkos politik dan nafsu rente bisa menghancurkan karier sekaligus mempermalukan daerah.
Sayangnya, ingatan publik sering pendek. Begitu ada pemimpin baru, lingkaran kepentingan lama kembali hidup, relawan minta jatah, tim sukses minta balas jasa, kerabat minta posisi. Dan lagi-lagi, proyek menjadi ATM paling gampang. Jika siklus ini tidak diputus, Lampung hanya akan mengulang cerita kelam yaitu pembangunan gagal, rakyat kecewa, pejabat dipenjara.
Lampung sudah punya “rekam jejak” yang cukup miris agar tak terus terulang. Beberapa kepala daerah, pejabat dinas, ASN, kontraktor sudah masuk jeruji besi karena korupsi proyek, mark-up, setoran, atau penyalahgunaan anggaran. Berikut beberapa contoh valid:
Eks Kadis PUPR Pesisir Barat , Jalaludin. Terlibat korupsi dua proyek jalan tahun 2022, merugikan negara sekitar Rp 2,8 miliar.
Proyek Gerbang Rumah Jabatan Bupati Lampung Timur , yang menyeret mantan Bupati Lampung Timur, Dawam Rahardjo. Nilai proyek sekitar Rp 6,8 miliar; kerugian negara kira-kira Rp 3,8 miliar. Ia dan beberapa pejabat lain telah ditahan
Kasus Lampu Jalan di Natar, Lampung Selatan , ASN Pemkab Lampung Selatan ditahan karena pengadaan dan pemasangan lampu jalan yang tak sesuai spek.
Watt lampu lebih kecil dari seharusnya, kabel tidak ditanam seperti spesifikasi. Kerugian negara sekitar ratusan juta rupiah.
Bupati Lampung Selatan Zainudin Hasan terkena OTT, suap, setoran dari proyek-proyek, korupsi APBD. Ia divonis 12 tahun penjara terkait kasus korupsi proyek dan pencucian uang lebih dari Rp 100 miliar.
Proyek Jalan Lampung Utara , ASN dan direktur kontraktor dituntut atas korupsi proyek peningkatan jalan dua desa di Lampung Utara tahun 2019; nilai lebih dari Rp 6,8 miliar; kerugian negara sekitar Rp 2,089 miliar.
Supaya “setoran marak proyek rusak” tidak terus jadi norma di Lampung, beberapa poin berikut perlu diperhatikan secara tegas:
Transparansi menyeluruh berupa Dokumen tender, rincian spek, nama kontraktor, harga satuan, progres laporan fisik, harus terbuka untuk publik dan media lokal. Dengan ini masyarakat bisa ikut mengawasi sejak tahap awal.
Penguatan pengawasan internal dan eksternal,Inspektorat daerah, BPKP, aparat hukum harus punya akses dan independensi yang memadai.
Pengaduan masyarakat harus ditindaklanjuti tanpa prosedur birokrasi berbelit.
Akuntabilitas pejabat publik, Kepala daerah, kepala dinas, pejabat pembuat komitmen harus punya pertanggungjawaban hukum dan moral. Kalau terbukti korupsi, bukan hanya jabatan dicopot tapi hukuman tegas, dikombinasikan dengan pemulihan aset.
Pembiayaan politik yang bersih, Partai politik dan calon kepala daerah harus punya aturan pembiayaan yang ketat, audit publik, pelaporan dana kampanye harus transparan, agar biaya politik tidak menjadi beban yang harus “dibayar kembali lewat proyek”.
Partisipasi masyarakat dan media lokal yakni masyarakat desa, LSM, jurnalis harus punya akses data proyek.
Media lokal yang investigatif penting. Komunitas harus diberdayakan agar tahu spesifikasi proyek, kualitas material, proses pengerjaan.
Setoran proyek bukan cuma soal uang hilang. Ia merusak kualitas infrastruktur, membuat nyawa bisa berisiko, menurunkan kepercayaan, mengganggu keadilan sosial, masyarakat yang membayar pajak atau iuran tak pernah mendapat pelayanan memadai.
Lampung sudah punya kasus nyata yang bisa dijadikan pelajaran keras bahwa tidak ada ruang toleransi untuk setoran yang merusak mutu.
Semoga Pemerintah Provinsi Lampung dan Pemerintah Kabupaten/Kota serta seluruh elemen masyarakat dan pengawas bisa mengambil pelajaran lebih baik mencegah sejak awal, daripada menjerit ketika proyek sudah rusak, ketika gedung sudah roboh, jalan sudah berlubang, dan kepala daerah serta dinas sudah diadili sambil masyarakat tetap menanggung kerugian ganda, fisik yang rapuh serta kepercayaan yang terkikis.
Dan mari kita doakan semoga di Provinsi Lampung tak ada lagi yang terkena OTT KPK atau ditahan kejaksaan karena tersandung kasus setoran proyek.
Wallahualam bishawab, Tabikpun Mahhap Ngalimpuro
Komentar