oleh

Tinggi Gunung Seribu Janji

-Din Bacut-227 views

Memang lidah tak bertulang, tak berbekas kata-kata, tinggi gunung seribu janji, lain di bibir lain di hati.”
Begitu dalam lirik lagu ciptaan Ismail Marzuki yang dinyanyikan Bob Tutupoly.

Lagu ini  sekarang kerap kali diputar oleh Din Bacut di Kedai Kopi Slemon setiap hari.

Din Bacut selalu bilang, bait itu bukan cuma lagu lawas, tapi kitab suci bagi mereka yang duduk di kursi kekuasaan dan bagi yang suka merayu hutang kopi di Kedai milik Dek Yanti.

Siang itu, kedai penuh aroma kopi Slemon yang baru diseduh. Din Bacut duduk di pojok, topi lusuhnya miring, sambil mengawasi Rudi Semetok yang sedang sibuk mengelap meja dengan gaya seolah ia sekretaris tim sukses.

“Coba lihat, Rud,” kata Din Bacut, suaranya setengah berbisik, setengah menggoda. “Janji kampanye itu kayak susu kental manis, waktu dituangkan manis betul, tapi kalau kebanyakan bikin eneg.”

Rudi mengangguk, menaruh lap di pundak. “Itu baru janji bupati kemarin. Jalan mulus, sekolah gratis, dan lapangan kerja. Eh, begitu terpilih, yang mulus cuma jalan menuju rumahnya sendiri.”

Di ujung meja, Edi Dacul menimpali dengan tawa renyah. “Belum lagi relawan. Pas musim baliho, mereka jungkir balik pasang spanduk, ngetok pintu rumah warga. Sekarang cuma dapat undangan makan di balai kota sama pidato tentang ‘tantangan fiscal dan efesiensi anggaran, Kayak kita diundang arisan, bukan hasil perjuangan.”

Manto Kisut, yang dari tadi sibuk memoles gelas, menambahkan dengan nada lebih serius. “Janji itu hutang, Din. Kata Imam Ghazali, kalau nggak dibayar, kepercayaan yang hancur duluan. Tapi ya susah, yang mereka ingat cuma waktu kampanye. Begitu duduk di kursi, janji-janji dikejar layaknya asap rokok , hilang ditiup angin.”

Baca Juga:  Kades Negeri Onyah Yang Hobinya Marah

Din Bacut mengangguk bijak, lalu menyeduh kopinya yang sudah mulai mendingin. “Masalahnya, sebagian relawan juga ikut-ikutan jadi makelar setoran proyek. Lupa kalau mereka sendiri dulu yang bilang ke warga, ‘Pilih dia, orangnya amanah!’ Giliran ada proyek jalan atau gedung, mereka yang pertama menaruh amplop di meja pejabat.”

Kedai sejenak hening, hanya suara kipas angin yang berdecit pelan. Lalu Din Bacut berdiri, menatap seluruh penghuni warung.

“Kalau mau nama kita nggak abadi di daftar pengingkar janji, berhentilah memperlakukan kata-kata kayak asap. Janji itu amanah, bukan voucher proyek.”

Rudi, Edi, dan Manto tertawa serempak, walau ada getir di sudut mata mereka. Di luar, matahari sore mulai condong, memantulkan cahaya ke papan nama warung, Kopi Slemon , Jujur Rasanya, Satir di Dalamnya.

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed