oleh

Semut dan Belalang

-Din Bacut-493 views

Di Kedai Kopi Slemon milik Dek Yanti, janda gemoy mantan TKW. Suasana pagi itu agak riuh.

Din Bacut, filsuf kampung yang kerjaannya cuma ngutang kopi, lagi ngoceh soal kepemimpinan. Katanya, kalau mau jadi pemimpin hebat, jangan meniru singa, jangan juga meniru elang.

“Tiru lah semut!” teriaknya sambil mencomot pisang goreng milik Rudi Kisut tanpa izin.

“Lho, Din, kok semut? Semut kan cilik, gampang kepleset kena ludah, apalagi diinjek sandal swallow. Masa pemimpin disuruh mirip semut?” tanya Rudi Kisut.

Din Bacut langsung berdiri, gaya kayak anggota DPR lagi reses. “Kamu ini Kisut, jangan remehkan semut! Semut itu makhluk paling demokratis.

Semua kerja, semua kebagian tugas. Ada yang angkat remah, ada yang jaga pintu sarang, ada juga yang siap mati demi kawanannya.

Coba bandingkan sama pejabat kita, banyak yang cuma bisa angkat tangan, tapi gak pernah angkat beban rakyat!”
Rudi Kisut manggut-manggut, pura-pura paham. Padahal pikirannya masih ke gorengan.

“Semut itu, Kis, kalau nemu gula, gak langsung dimakan sendiri. Dia manggil kawanannya. Barisan semut itu mirip proyek bansos, gotong-royong, semua ikut kebagian.

Bedanya, kalau semut gak ada mark-up, kalau pejabat kita… ya kamu tahu sendiri,” lanjut Din Bacut dengan nada sinis.

Parno Bojoloro yang baru datang, langsung nimbrung. “Lha iya, Din, Aku pernah lihat semut jatuh ke got, langsung kawan-kawannya datang bantuin. Kalau manusia?

Jangan harap. Ada orang jatuh, yang ada malah direkam dulu buat konten TikTok.”
Semua ngakak. Dek Yanti sampai hampir keselek gorengan.

Din Bacut makin berapi-api. “Makanya, jiwa kepemimpinan harus mencontoh semut. Pemimpin itu seharusnya mikir kawanan dulu, bukan perutnya sendiri.

Baca Juga:  Bandit-bandit Kota

Coba bayangkan kalau pejabat kita beneran kayak semut. Dana proyek dikerjakan bareng-bareng, hasilnya untuk rakyat, dan kalau ada yang kepleset, semuanya turun tangan.

Tapi kenyataannya? Banyak yang mirip belalang, makan banyak, kerja sedikit, dan doyan lompat dari partai ke partai.”
Semua terdiam sejenak. Lalu Rudi Kisut nyeletuk,

“Tapi, Din, ada bedanya juga. Kalau semut, ratu itu dilayani. Kalau pejabat, rakyat yang harus melayani. Kebalik, to?”

Din Bacut langsung ngakak. “Bener juga, Kis. Rakyat kita ini kadang lebih sabar dari semut. Sudah diinjek-injek, masih aja baris rapi tiap pemilu, rela antre, rela disemprot janji manis, tapi ujung-ujungnya digigit juga!”

Dek Yanti menutup obrolan itu dengan bijak, sambil menyodorkan kopi Slemon yang masih ngebul.

“Intinya, Din, kalau pemimpin kita gak bisa belajar dari semut, ya paling enggak belajarlah dari kerupuk.

Tipis, tapi kalau kena minyak panas, bisa mengembang. Minimal rakyat masih bisa merasa kenyang, meskipun cuma ilusi.”
Semua terbahak, tapi dalam hati masing-masing sadar: negara ini mungkin butuh lebih banyak semut, dan lebih sedikit pejabat yang mirip belalang.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed