Dalam bahasa Lampung, sekelik ekam berarti “saudara saya”. Sebuah ungkapan yang dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan keakraban, kekeluargaan, dan rasa saling memiliki.
Namun dalam dunia pemerintahan, istilah ini justru sering bermakna ganda yakni bukan sekadar panggilan hangat, melainkan juga jalan pintas menuju jabatan, proyek, atau posisi strategis.
Fenomena sekelik ekam begitu lekat dengan politik lokal di Lampung. Seolah-olah setiap kepala daerah yang baru menjabat wajib “mengakomodir keluarga” terlebih dahulu.
Jabatan publik yang semestinya diisi berdasarkan kompetensi, akhirnya diberikan kepada mereka yang memiliki kedekatan darah atau emosional.
Begitu pula dengan proyek pemerintah, lebih sering jatuh ke tangan orang-orang “titipan” keluarga dibandingkan melalui mekanisme yang sehat dan transparan.
Di titik inilah, budaya sekelik ekam berubah menjadi jebakan nepotisme.
Pemerintahan yang mestinya berjalan profesional dan meritokratis memberikan ruang kepada orang yang berkompeten malah terhambat oleh loyalitas sempit kepada keluarga.
Kepala daerah sering berada dalam dilemma yaitu antara memenuhi janji profesionalisme di depan publik atau menuruti desakan keluarga yang sejak awal ikut mendukung dan “berinvestasi” dalam proses politik.
Lebih jauh, dominasi budaya sekelik ekam juga menular ke birokrasi. Aparatur sipil negara yang semestinya netral justru ikut terseret dalam pusaran patronase keluarga.
Mereka yang punya kedekatan emosional dengan “orang dalam” lebih mudah naik jabatan, sementara yang benar-benar bekerja keras justru tertinggal.
Akibatnya, pelayanan publik menjadi korban, karena orang-orang yang ditempatkan bukanlah yang paling layak, melainkan yang paling dekat.
Fenomena ini bukan hanya soal Lampung, tetapi hampir di seluruh daerah di Indonesia. Namun di Lampung, istilah sekelik ekam memberi wajah lokal pada nepotisme.
Ia menjadi cermin bagaimana budaya bisa menyuburkan praktik kekuasaan yang tidak sehat, jika tidak diimbangi dengan tata kelola pemerintahan yang kuat.
Jika dibiarkan, sekelik ekam akan terus melahirkan lingkaran setan yaitu keluarga menjadi pusat kekuasaan, birokrasi kehilangan profesionalisme, dan rakyat hanya menjadi penonton yang kecewa.
Padahal yang dibutuhkan Lampung (dan daerah lain) hari ini bukan sekadar “pemerintahan keluarga”, melainkan pemerintahan meritokrasi yang menempatkan orang pada posisi sesuai kemampuan, bukan sekadar karena hubungan darah.
Kepala daerah yang berani memutus rantai sekelik ekam akan dikenang sebagai pemimpin yang membangun peradaban birokrasi modern.
Sebaliknya, yang terjebak pada praktik ini hanya akan dikenang sebagai pemimpin yang menggadaikan masa depan daerah demi menjaga kenyamanan keluarganya sendiri.
Yang jadi pertanyaannya adalah, beranikah Kepala daerah di Lampung memutus mata rantai Sekelik Ekam.
Wallahu a’lam bishawab
Tabikpun, Mahhap Ngalimpuro
Oleh :Abung Mamasa, Pemimpin Redaksi Harian Kandidat










Komentar