oleh

Kompak Menjadi Bangsat

-Din Bacut-571 views

Sore itu Kedai Dek Yanti bagai surau politik jalanan. Aroma kopi Slemon dan asap rokok murah membubung, bercampur suara dangdut remix dari speaker butut yang serak-serak basah, seakan menertawakan nasib kota Badar Lepung yang dipimpin orang setengah waras.

Din Bacut berdiri, kancing bajunya cuma dua yang masih bertahan seperti sisa moral pejabat negeri ini.

Ia menghentakkan meja, nyaris menumpahkan kopi hitam.

“Walikota goblok! Anggota Dewan bangsat!” Keduanya sama saja menjadi Jongos Jaksa,”teriaknya. “Mereka itu bukan wakil rakyat, tapi calo proyek berkedok jas safari!”

Yono Kebaw  yang sedang mengunyah pisang goreng langsung keselek.

“Din, jangan keras-keras, nanti disangka makar. Kau ini kayak toa masjid bocor, tiap sore bunyinya pecah tapi tak ada yang bisa mematikan,” katanya.

Din Bacut mengibaskan tangannya dramatis, seperti dalang wayang yang kesurupan.

“Bayangkan, kawan-kawan! Walikota Epah Dewiyana menyulap puluhan miliar duit rakyat untuk membangun istana Kejaksaan . Sejak kapan pemkot Badar Lepung jadi developer institusi vertikal? Kita ini bukan kota, kita ini sapi perah!”

Edi Dacul menimpali sambil ketawa, “Lah, mungkin itu investasi masa depan, Din. Kalau nanti kena kasus, jaksanya bisa kasih paket promo, sidang ringan, vonis diskon, gratis karaoke!”

Tawa meledak, tapi Din Bacut semakin membara.

“Bukan sekali ini saja,  Tahun lalu  puluhan miliar  untuk Universitas Lontong, puluhan miliar juga buat RS di Kampus Islam.

Rumah dinas Kepala Polisi dibantu juga. Ratusan miliar keluar dari kas yang bolong. Kota kita defisit puluhan miliar, utang ratusan miliar. Kau tahu apa artinya? Ibarat orang miskin, panci bocor, beras habis, tapi masih bangga nyumbang ke juragan gula!”

Dek Yanti yang sedang menuang kopi nyeletuk, “Lah terus duitnya mending buat apa, Din?”

Baca Juga:  Syamsidin Sibualbuali

“Untuk rakyat, Yanti!” suara Din meledak seperti bedug jebol. “Jalan kota kayak wajah puber penuh jerawat bopeng. Baru sepuluh meter jalan, ban motor sudah nyemplung kubangan.

Drainase mampet, hujan dikit langsung banjir. Pendidikan katanya gratis, tapi masih juga orang tua dipalak uang komite. Kota macet, parkir semrawut, angkot punah. Tapi apa yang dibanggakan pemkot? Gedung kejaksaan megah, lobi mentereng, cocok buat selfie pejabat!”

Yono Kebaw meringis sambil menyalakan rokok.
“Yah Din, barangkali prioritasnya terbalik. Jalan bolong bisa ditutup pakai baliho pencitraan, toh lebih tahan cuaca. Gedung kejaksaan kan bisa jadi spot prewedding pejabat.”

“Betul!” Edi Dacul menimpali, terbahak. “Pemkot bukan lagi pemerintah kota, tapi panitia kontes ‘Gedung Megah Se-Konoha’. Warga biar berenang tiap hujan, yang penting pejabat punya lobi mentereng buat sambutan!”

Din Bacut menepuk jidatnya keras.
“Astaghfirullah! Kau tahu, kawan-kawan, DPRD itu lebih bejat lagi. Mereka yang harusnya jadi pagar rakyat, justru jadi pagar makan tanaman! Anggaran goblok ini lolos karena mereka setuju, seperti ayam kampung yang rebutan gabah, padahal kandangnya kebanjiran.

Dewan kita itu bukan wakil rakyat, tapi broker bersertifikat, kerjanya cuma menukar mandat rakyat dengan kupon proyek!”

Dek Yanti menaruh kopi di depan Din.
“Din, omonganmu memang pedas, tapi ada benarnya. Pemimpin itu cuma numpang lewat.

Kalau yang ditinggalkan hanya banjir, jalan bolong, dan utang, maka rakyat akan mengenang mereka bukan sebagai walikota, tapi sebagai badut pesta peresmian.”

Din Bacut menyeruput kopinya, lalu berdiri tegak, tangan mengepal.

“Catat baik-baik, Dek Yanti ! Rakyat Badar Lepung jangan mau jadi bahan olok-olok sejarah. Kalau pemimpin terus sok dermawan pakai duit rakyat untuk menyogok institusi vertikal, maka rakyat harus balas dengan satire! Mari kita gelar sayembara, siapa bisa tambal jalan pakai poster wajah wali kota, akan kuberi piagam ‘Anti Korupsi’! Dan siapa bisa membungkus tikus DPRD dengan jas safari, akan kuberi penghargaan ‘Pahlawan Drainase’!”

Baca Juga:  Iming-iming Tim Sukses

Kedai pecah oleh tawa. Tapi tawa itu getir, seperti kopi yang terlalu pekat. Asap rokok menggantung di udara, menuliskan satire di dinding bambu, kota ini sudah lama dijual, tapi rakyatnya masih setia membeli harapan palsu.

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed