Di tengah badai krisis kepercayaan publik dan runtuhnya sendi-sendi kejujuran dalam birokrasi, Provinsi Lampung berdiri di persimpangan jalan. Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum positif, melainkan sebuah pengkhianatan terhadap darah dan adat yang mengalir di tanah ini.
“Mulang Dak Piil” bukanlah sekadar jargon romantisasi masa lalu. Ia adalah sebuah deklarasi perang terhadap mentalitas lancung. Ia adalah gerakan pulang—kembali ke muara kesucian nilai yang telah diwariskan para leluhur Bumi Ruwa Jurai. Ketika seorang pejabat atau warga negara telah kehilangan rasa malunya (Piil), maka ia telah kehilangan jati dirinya sebagai manusia Lampung.
Pakta Integritas Budaya ini disusun bukan untuk menambah tumpukan arsip, melainkan sebagai kontrak sosial-spiritual. Sebuah komitmen bahwa setiap langkah kebijakan, setiap rupiah uang rakyat, dan setiap desah nafas pengabdian harus disaring melalui filter Piil Pesenggiri. Kita tidak sedang hanya membangun infrastruktur fisik, kita sedang memulihkan Marwah.
Mukadimah Bahwa sesungguhnya, keberlanjutan pembangunan di Tanah Lampung tidak hanya bergantung pada kekuatan ekonomi dan hukum formal, melainkan pada keteguhan moral yang berakar dari falsafah hidup Piil Pesenggiri. Bahwa korupsi adalah pengkhianatan terhadap leluhur, perusakan tatanan Sakai Sambayan, dan noda hitam di atas marwah Sang Bumi Ruwa Jurai.
Demi mengembalikan kemuliaan martabat Lampung, kami yang bertanda tangan di bawah ini, berkomitmen untuk melaksanakan poin-poin restu dan mandat kebudayaan sebagai berikut:
PASAL 1: Restorasi Makna Piil Pesenggiri
Sepakat bahwa Piil (Harga Diri) hanya dapat diperoleh melalui kejujuran (Siddiq) dan amanah, bukan melalui kekayaan yang bersumber dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Menanamkan bahwa perilaku koruptif adalah bentuk Mak Makhupa (tidak beradab/kehilangan martabat manusia) yang merendahkan derajat keluarga dan kaum kerabat di mata adat.
PASAL 2: Purifikasi Tradisi Nemui Nyimah
Berkomitmen untuk tidak menyalahgunakan semangat Nemui Nyimah (keramahtamahan) sebagai kedok untuk praktik gratifikasi, suap-menyuap, atau pemberian “uang pelicin” dalam layanan publik dan proyek pemerintah.
Pejabat publik yang merupakan masyarakat adat wajib menolak segala bentuk pemberian yang berkaitan dengan jabatan sebagai bentuk penjagaan terhadap kehormatan gelar adat yang disandangnya.
PASAL 3: Komitmen Juluk Adek (Kepemimpinan Amanah)
Para Pemangku Adat (Penyimbang) bersepakat untuk tidak memberikan, atau mencabut sementara, gelar adat (Adek) bagi oknum yang secara sah terbukti melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan rakyat banyak.
Jabatan publik harus dipandang sebagai kearifan Juluk (harapan/cita-cita) yang wajib dijaga kesuciannya sebagaimana menjaga silsilah keturunan.
PASAL 4: Sakai Sambayan dan Pengawasan Komunal
Menghidupkan kembali semangat Sakai Sambayan (gotong royong) dalam bentuk pengawasan partisipatif terhadap pembangunan di tingkat Tiyuh, Pekon, dan Kota.
Masyarakat adat berhak dan wajib menegur serta mengingatkan sesama warga atau pimpinan kaum yang terindikasi menyimpang dari jalan kejujuran sebelum tersentuh ranah hukum formal.
PASAL 5: Sanksi Moral dan Kebudayaan
Pelaku korupsi tidak diberikan tempat kehormatan dalam majelis adat (Sesat Agung) dan acara-acara sakral adat Lampung sebagai bentuk sanksi sosial agar timbul efek jera.
Mendorong kurikulum muatan lokal yang mengajarkan anti-korupsi berbasis nilai-nilai Nengah Nyappur (pergaulan sehat) dan Sakai Sambayan.
Pakta Integritas Budaya ini bukan sekadar lembaran kertas, melainkan janji suci kepada Tuhan Yang Maha Esa, para leluhur, dan generasi mendatang. Kami meyakini bahwa Lampung hanya akan Berjaya jika Lampung dipimpin oleh jiwa-jiwa yang memiliki Piil (Integritas).
Restorasi ini tidak akan berhenti pada kata-kata. Pakta Integritas Budaya: Mulang Dak Piil adalah garis api yang memisahkan antara pengabdi rakyat dan pengkhianat mandat. Kita harus berani menegaskan bahwa tidak ada tempat bagi mereka yang menggadaikan kehormatan adat demi kemewahan sesaat.
Jika sistem hukum memiliki celah untuk berkelit, maka Adat dan Harga Diri tidak memberi ruang bagi pengampunan terhadap ketidakjujuran. Dengan memegang teguh pakta ini, kita sedang mengembalikan Lampung ke khitahnya: sebagai tanah di mana kehormatan dijunjung lebih tinggi daripada jabatan, dan integritas menjadi satu-satunya mata uang yang berlaku dalam pergaulan publik.
Mari kita jadikan Mulang Dak Piil sebagai ruh dalam setiap denyut birokrasi. Biarlah sejarah mencatat bahwa di bawah langit Sang Bumi Ruwa Jurai, kita pernah tegak berdiri melawan arus korupsi, bukan dengan kekuatan senjata, melainkan dengan Kesucian Adat dan Kekuatan Harga Diri.
Lampung tidak butuh sekadar pemimpin pintar, Lampung butuh pemimpin yang masih memiliki rasa malu.
Penulis
Prof. Dr. Hamzah, S.H., M.H. PIA.
Guru Besar Ilmu Hukum FH Unila





Komentar