oleh

Lagu Lama Kaset Baru

-Opini-443 views

Setiap pergantian kepala daerah, rakyat selalu diperdengarkan janji baru, pembangunan dipercepat, layanan publik diperbaiki, korupsi diberantas, dan birokrasi dibuat profesional.

Baliho dipasang, slogan ditata, jargon dikemas manis. Namun, setelah euforia pelantikan mereda, yang terdengar justru bukan simfoni segar, melainkan lagu lama yang diputar dengan kaset baru.

Begitu duduk di kursi kekuasaan, kepala daerah baru bukan sibuk membuka catatan janji kampanye, melainkan sibuk membuka “buku utang politik.”

Daftar panjang nama-nama loyalis, relawan, hingga kerabat menunggu giliran untuk diberi kursi.

Maka dimulailah ritual mutasi, sebuah tradisi politik yang sudah dianggap lumrah yaitu pejabat lama disingkirkan, pejabat titipan dimasukkan.

Dalih yang dipakai terdengar mulia: “penyegaran birokrasi,” “penyesuaian visi dan misi,” atau “penempatan pejabat yang lebih kompeten.”

Padahal, rakyat sama-sama tahu bahwa banyak pejabat lama yang sebenarnya memiliki rekam jejak baik justru tersingkir, hanya karena tidak punya “paspor politik” menuju lingkaran kekuasaan.

Sebaliknya, yang masuk adalah mereka yang kerap nongkrong di posko pemenangan, rajin mengipas di acara kampanye, atau kerabat yang merasa “keringatnya paling mahal.”

Inilah wajah telanjang dari meritokrasi yang diperkosa oleh patronase. Surat Keputusan (SK) jabatan berubah jadi komoditas, diperdagangkan oleh makelar jabatan yang mondar-mandir layaknya blantik sapi.

Pejabat ditempatkan bukan karena keahlian, tapi karena siapa yang paling lantang berteriak “saya bagian dari tim sukses.”

Mirisnya lagi di beberapa daerah justru pejabat yang ada di Badan Kepegawaian Daerah (BKD) nya yang bermain.

Rekam jejak pejabat bukan menjadi salah satu tolok ukur, bahkan meski pernah bermasalah dalam hukum pun, jika orang dekat serta mampu menyetorkan uang pelicin alhasil mendapat jabatan.

Tentunya yang menangguk keuntungan adalah oknum BKD dan orang-orang dekat yang menjadi makelar jabatan.

Baca Juga:  Restorative Justice melalui Hukum Pidana Adat Lampung

Seorang birokrat senior pernah sinis berujar, “Mutasi di negeri ini ibarat musik dangdut koplo di pos ronda, yang berganti hanya penyanyi, lagunya tetap sama, nadanya tetap sumbang.”

Tak bisa disangkal, fenomena ini sudah menjadi pola baku. Beberapa Akademisi berpendapat bahwa merit system ASN lebih sering berhenti di dokumen, tidak pernah benar-benar jadi pedoman dalam mutasi pejabat.

Sedangkan para pakar administrasi mengingatkan bahwa politisasi mutasi bukan hanya melemahkan kapasitas birokrasi, tetapi juga menghancurkan profesionalisme ASN yang seharusnya netral.

Mutasi berbasis balas budi adalah wajah paling gamblang dari kegagalan demokrasi lokal, rakyat memilih pemimpin, tapi yang menikmati justru kerabat dan loyalis.
Bukankah ini persis seperti kata Bung Hatta: “Korupsi bukan sekadar soal uang, tapi soal kebiasaan.”

Mutasi berbasis balas budi adalah korupsi dalam bentuk lain yakni merampas hak birokrat yang bekerja baik, hanya karena mereka tidak punya tiket politik.

Akibatnya jelas, program pembangunan tidak bergerak, pelayanan publik jalan di tempat, dan janji kampanye tinggal jadi iklan basi.
Kepala daerah sibuk mengurusi kursi, sementara rakyat menunggu perubahan yang entah kapan datang.

Ironi terbesar adalah ketika kepala daerah merasa sudah melakukan “perubahan,” padahal rakyat melihat tak ada bedanya dengan pemerintahan sebelumnya.

Seperti kaset baru yang diputar, suara tetap serak, lagunya tetap sumbang.

Maka, jika mutasi pejabat hanya dijadikan alat politik, jika pembangunan hanya jadi jargon, dan jika kepala daerah baru ternyata tak lebih baik dari pendahulunya, rakyat sangat berhak menyebut ini hanyalah lagu lama, kaset baru.

Wallahu a’lam bishawab, Tabikpun Mahhap Ngalimpuro
Oleh : Abung Mamasa
Pemimpin Redaksi Harian Kandidat

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed