Sore itu kantin Dek Yanti bukan sekadar warung kopi. Ia sudah berubah jadi mahkamah rakyat versi sandal jepit, tempat segala kebusukan kota diadili tanpa berita acara.
Asap gorengan menari di udara seperti roh keadilan yang belum sempat naik ke surga, sementara Kopi Slemon (Sekali Minum Langsung Move On) mendidih di atas kompor gas satu tungku yang lebih jujur dari pejabat setempat.
Din Bacut menepuk meja, keras, sampai cangkir bergetar seperti hati bendahara proyek saat BPK datang mendadak.
“WOI!” teriaknya. “Kalian dengar kabar gila terbaru? kumpulan bandit kota mau jalan-jalan ke Kajarta ! Katanya buat bimtek!”
Sudin Maruk, yang sedang mengaduk kopi dengan sendok berkarat, mengangkat alis. “Bandit kota yang mana, Din? Di sini banyak. Mau yang pakai seragam, dasi, atau toga?”
“SEMUA!” jawab Din dengan nada getir. “ puluhan anggota DPRD Kota yang sudah mengesahkan bantuan hibah untuk gedung jaksa, pencipta karya agung bernama Hibah puluhan Miliar!”
Manto Kisut menelan ludah. “Hibah buat siapa?”
“Buat gedung Jaksa!”
“Lho, itu kan lembaga vertikal!”
“Ya makanya aku bilang bandit! Duit daerah buat bangun kantor pusat! Aneh kan? Kayak rakyat diminta patungan buat beli seragam hakim!”
Dek Yanti yang sedang meniriskan gorengan langsung nyeletuk, “Walah Din, jangan keras-keras ngomongnya. Nanti kalau ada yang lapor, kantinku ini bisa disegel, dibilang sarang makar.”
“Kalau jujur aja dianggap makar,” sahut Din, “berarti kota ini udah resmi jadi koloni penjajahan anggaran!”
Suasana hening sejenak.
Kipas angin tua di pojok berdecit pelan, seperti ikut menyimak sidang rakyat.
Din Bacut menyalakan rokok murahan. Asapnya naik ke langit-langit.
“Kau tahu, Yanti, hibah itu gak masuk akal. Jaksa seharusnya menolak. Harusnya mereka bilang ‘Kami tak pantas menerima uang rakyat daerah yang morat-marit’. Tapi apa? Mereka malah terima dengan senyum. Jangan-jangan…”
“Jangan-jangan apa, Din?” tanya Rudi Kisut pelan.
Din mendekat, berbisik dramatis. “Jangan-jangan… ada udang di balik bakwan.”
“Walah Din, ini kantin, bukan laut!” kata Manap.
“Tapi pikir, Nap. Bandit Pemkot dan DPRD banyak kasus. Ada proyek belum beres, ada setoran yang hilang jejak, ada lahan hibah yang gak jelas ujungnya. Bisa aja ‘hibah gedung’ itu cuma tukar guling moral. Kasus ditidurkan, bangunan berdiri.”
Semua terdiam. Hanya bunyi minyak goreng meletup, seperti suara nurani yang kesakitan.
Susi Nonggeng datang membawa payung, duduk, dan langsung nyeletuk, “Iya, Din. Jaksa mestinya tegas, bukan ikut arisan anggaran! Kalau lembaga hukum aja mau disuapi, siapa lagi yang jaga pintu kebenaran?”
Dek Yanti menghela napas. “Aku curiga, nanti gedung baru itu ada ruang VIP-nya buat pejabat Pemkot yang sering ‘silaturahmi’.”
Tawa pecah. Tapi getir.
Din Bacut menepuk meja lagi. “Bandit-bandit itu memang kompak. Kalau buat rakyat mereka ribut, tapi kalau buat bagi kue, mereka jadi paduan suara!”
Sudin Maruk mengangkat gelasnya. “Tapi itu belum puncaknya, Din. Aku dengar DPRD Kota mau bimtek ke Kajarta . Tiga hari di hotel bintang lima. Judulnya: Optimalisasi Peran Legislator dalam Peningkatan Sinergi Pemerintahan Daerah.”
“Optimalisasi?” cibir Din. “Yang dioptimalisasi itu rekening perjalanan dinas!”
Manto Kisut menyahut, “Padahal DPRD Provinsi udah mulai sadar, loh. Mereka sekarang bimtek di sini aja, pakai fasilitas Pemda, gak lagi ke pusat. Hemat, efektif, gak banyak gaya.”
“Lah itu dia bedanya!” kata Din. “Yang provinsi udah belajar jadi pelayan rakyat, yang kota masih hobi jadi pelanggan hotel. Mereka pikir rakyat kagum kalau liat fotonya di lobi hotel sambil pegang map!”
Manap Porek nyengir, “Mungkin mereka mau studi banding sama staf hotel, biar tahu cara ‘layani tamu dengan senyum tanpa rasa malu’.”
Tawa pecah lagi, lebih keras dari sebelumnya. Bahkan kipas angin ikut bergoyang.
Din Bacut menatap keluar jendela, hujan mulai turun.
“Kota ini sebenarnya gak miskin, Yanti. Cuma dikelola kayak warung gorengan yang diborong tukang bakul licik. Uangnya banyak, tapi disembunyikan di plastik yang sama dengan dosa.”
Dek Yanti menatapnya serius. “Jadi menurutmu, Din, apa yang harus rakyat lakukan?”
Din meneguk Kopi Slemon-nya. “Rakyat gak perlu demo, cukup berhenti percaya. Karena kepercayaan rakyat itu bahan bakar moral pejabat. Kalau itu habis, bandit-bandit itu bakal mogok sendiri.”
Hening.
Lampu lima watt di kantin berkedip, seolah ikut malu menyinari kebodohan yang terus dibiayai pajak.
Susi Nonggeng berkata lirih, “Kau tahu Din, dulu kita berharap hukum jadi pelindung. Sekarang hukum malah butuh pelindung dari bandit berseragam.”
Din Bacut tertawa kecil. “Iyaaa sihhh,, di kota ini, hukum bukan lagi panglima. Hukum itu pelayan, dan panglimanya ya… uang hibah!”
Hujan makin deras.
Kopi makin dingin.
Tapi suasana kantin tetap panas.
Sebelum bubar, Din Bacut berdiri, menatap teman-temannya satu-satu.
Dengan nada pelan tapi tajam, ia berkata:
“Ingat, kawan. Mereka bukan lagi pejabat. Mereka itu kumpulan para bandit kota , bandit yang pakai dasi, yang bertopeng pelayanan publik, yang pura-pura belajar di hotel padahal sedang menghitung bagian.”
Semua terdiam.
Lalu Dek Yanti menutup warungnya perlahan. “Udah malam, Din. Tapi pembicaraanmu ini bikin aku gak bisa tidur.”
Din Bacut tersenyum miring. “Tenang, Yanti. Mereka juga gak bakal bisa tidur. Karena tiap kali mereka pejam mata, pasti terdengar suara rakyat yang masih lapar.”
Komentar