Bandar Lampung-Dugaan pelanggaran TSM yang dilaporkan Paslon Yutuber dinilai saksi ahli terlapor Paslon nomor tiga Eva-Deddy, Yusdianto, cenderung mengedepankan asumsi dan tendensius.
Selain imajiner, menurut pakar hukum dari Universitas Lampung (Unila) dugaan pelanggaran yang dilaporkan justru menyoal kebijakan Walikota Bandar Lampung Herman HN, bukan kebijakan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
“Pemohon hanya berdasarkan asumsi, mengada-ada, imajiner,” terang Yusdianto saat sidang dugaan pelanggaran terstruktur sistematis dan masif (TSM) Bawaslu Lampung di Hotel Bukit Randu, Kota Bandarlampung, Senin (28/12).
Yusdianto menguraikan 16 poin alasan patut diabaikannya laporan pelapor oleh Majelis Pemeriksa Bawaslu Lampung.
Pertama, legal standing pelapor. Pelapor melakukannya pukul 23.00 WIB, saat pencoblosan, penghitungan suara di TPS, dan hasil hitung cepat (quick count) telah selesai.
Padahal, Pasal 13 ayat (2) Perbawaslu No. 9 Tahun 2020, laporan Pelanggaran Administrasi Pemilihan TSM seharusnya disampaikan sejak tahapan penetapan peserta sampai hari pemungutan suara.
Kemudian, identitas pelapor hanya mencantumkan data diri. Seharusnya pelapor mendiskripsikan kepentingan atau hubungan hukum terkait hasil perolehan suara terlapor terhadap signifikansi gugatan TSM.
Sehingga, menurut hukum laporan a quo, pemohon telah mengandung cacat formil, premature, dan beralasan hukum untuk ditolak.
Kedua, gugatan ini, salah alamat. Secara umum, pelapor menyoal netralitas ASN. Sewajarnya, laporan diajukan sebelum gugatan TSM ke Bawaslu.
Ketiga, bila menggunakan interpretasi gramatikal sistematis, kata istri hanya diatur secara in-heren dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kedudukan istri tidak diatur secara in-heren, eksplisit maupun implied menurut UU No.1 Tahun 2015 tentang PP Pengganti UU No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
“Tidak ada terminologi istri dalam kedudukan hukum yang diperluas sebagaimana dalam hubungan keperdataan,” ujar Yusdianto.
Keempat, Eva Dwiana bukan petahana yang sedang menjabat, sehingga pernyataan bahwa Eva Dwiana diuntungkan oleh kebijakan wali kota patut dibuktikan secara keseluruhan oleh pemohon.
Kelima, dalam sidang ini pemohon lebih banyak mempersoalkan kinerja Herman HN, terutama soal kebijakan penanganan pandemi Covid-19, bukanlah kompetensi majelis ini untuk memeriksanya.
“Untuk itu, saya menyarankan dan bila diperkenankan majelis ini tidak boleh menyoal kinerja wali kota yang tidak ada korelasi sama sekali terkait pilwalkot,” ujarnya.
Keenam, sangkaan para ketua RT dan jajaran pengurusnya, para linmas, Posyandu, PKK, Kelompok Sadar Wisata, anggota Majelis Taklim Rahmat Hidayah memanfaatkan APBD untuk memengaruhi pemilih dan alat politik adalah dugaan yang sangat tendensius.
“Dalil tersebut merupakan dugaan yang sangat tendensius dan cenderung mengada-ada, karenaEva-Deddy tidak memiliki kewenangan memerintahkan kecuali pasangan yang berstatus incumbent (petahana),” ujarnya.
Pemohon secara kasat mata telah mencampuradukan antara kinerja Wali Kota Herman HN dengan paslon Eva-Deddy. Oleh karena itu, prasangka pemohon patut diabaikan, ditolak Majelis Pemeriksa ini, tambah Yusdianto.
Ketujuh, dalil kecurangan TSM yang dilakukan Paslon 03 Eva-Deddy, dari unsur terstruktur, sistematis dan massif dalam Perbaikan Laporan Pelanggaran Administrasi Pemilihan TSM, tertanggal 17 Desember 2020. Pembuktian TSM sama sekali tidak terlihat dalam fundamentum pemohon.
Kedelapan, dari uraian dalil-dalil pemohon terlihat pemohon tidak mampu menguraikan hubungan sebab akibat antara peristiwa yang didalilkan dengan signifikansinya terhadap perolehan suara.
Pemohon hanya mencantumkan contoh-contoh peristiwa tanpa ada ada uraian yang jelas dan lengkap mengenai apa, kapan, di mana, siapa dan bagaimana kaitan dengan perolehan suara.
Oleh karena itu Permohonan Pemohon semestinya ditolak karena tidak berdasar dan tidak beralasan hukum.
Kesembilan, Kuasa Hukum Pemohon sama sekali tidak menyinggung hubungan kausalitas antara terstruktur, sistematis, yang berdampak masif dalam hubungannya dengan perolehan suara antar pasangan calon.
Selain itu, unsur penyalah gunaan kewenangan tidak terlihat dan dibuktikan unsur penyalahgunaan diatas yang ada hanya asumsi dan dugaan belaka.
Kesepuluh, kecurangan secara TSM harus digali kebenarannya oleh Majelis. Kemudian, kecurangan secara TSM tetap dalam bingkai hasil suara.
Seberapa signifikan kecurangan TSM terhadap selisih jumlah suara? Menurut Yusdianto, hal-hal ini sama sekali tidak diungkapkan dalam dalil pemohon.
Untuk membuktikan TSM harus menunjukkan bukti terjadinya pelanggaran paling sedikit 50 persen kecamatan. Kota Bandarlampung memiliki 20 kecamatan dan laporan pelapor tidak memenuhi syarat tersebut.
Menurut Pasal 15 ayat 3, Perbawaslu No. 9 Tahun 2020, obyek pelanggaran meliputi: 1. Pelaku, 2. Waktu Peristiwa, 3. Tempat peristiwa, 4. Saksi-saksi; 5. Bukti lainnya dan 6. Kronologi peristiwa.
Namun, dalam gugatan ini, pemohon hanya memaparkan secara kualitatif contoh-contoh peristiwa yang kemudian diklaim sebagai pelanggaran yang bersifat TSM tanpa uraian hubungannya dengan data kuantitatif: apa, kapan, di mana, siapa dan bagaimana pelanggaran TSM.
Kesebelas, yang dipersoalkan oleh pemohon adalah persoalan normatif antara lain tugas penanganan pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional sebagai kecurangan atau menguntungkan/merugikan salah satu pasangan calon.
Keduabelas, dugaan pemohon dalam penggunaan dana APBD dan Program pemerintah yang menguntung salah satu Pasangan calon ini menganggap anggota DPRD tidak pernah ada atau bekerja, termasuk anggota DPRD yang berasal dari partai pendukung calon tersebut.
Padahal, APBD merupakan hasil kesepakatan bersama pemerintah dengan DPRD yang disusun dalam wujud Perda APBD. Penyusunan Perda APBD melibatkan anggota DPRD, termasuk partai politik pendukung calon-calon kepala daerah.
Ketigabelas, asumsi pemohon terkait penggunaan dana APBD berdasarkan dalil pemohon yang membangun proposisi dan logika berpikir hukum dan perundang-undangan tidak tepat, cenderung tendensius dan imajener.
Keempatbelas, dalli pemohon bersifat mengenerelasasi tanpa penjelasan lebih lanjut yang logis dan rasional tentang bagaimana program pemerintah tersebut dapat berpengaruh terhadap pilihan para pemilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Pogram tersebut bukan ditujukan untuk pendukung salah satu peserta pilkada, tapi untuk seluruh rakyat yang berhak tanpa adanya diskriminasi berdasarkan apa pun, terlebih berdasarkan pilihan politik.
Kelimabelas, Pasal 37 Poin (b) Perbawaslu No. 9 Tahun 2020 tentang TSM, menyatakan majelis pemeriksa melakukan pembuktian, menegaskan alat bukti yang digunakan dalam proses pembuktian paling kurang 2 alat bukti berdasarkan keyakinan majelis pemeriksa.
“Saya mencermati, dari 20 kecamatan yang didalilkan pemohon, sudah sewajarnya setiap dalil menghadirkan dua alat bukti agar dugaan pemohoan tak dilakukan karena subjectifitas dan bernarasi tendensius,” kata dia.
Keenambelas, permohonan pemohon hanya didasarkan pada dalil asumtif, mengada-ada dan imajiner tanpa memberikan gambaran tentang fakta kejadian yang konkret: dimana kejadiannya, siapa pelakunya, kapan kejadiannya, modusnya seperti apa, dan keterangan-keterangan lainnya yang memperjelas dalil-dalil tersebut, serta keterkaitannya dengan termohon yang hanya sebagai pemilih bukan sebagai peserta pemilihan.
Komentar