Oleh: Yusdiyanto
Dosen HTN FH Universitas Lampung
Sengketa adimistrasi Pilkada atas pencalonan pasangan calon di Pilkada Kota Bandar Lampung telah berakhir pasca Putusan Mahkamah Agung. Penghormatan setinggi-tinggi patut diberikan oleh semua pihak termasuk pihak yang kalah akibat putusan tersebut.
Menjadi aneh, Pihak yang “merasa” keberatan, begitu ‘ngotot’ sampai melakukan upaya peninjauan kembali, sehingga keadilan yang dimaksud milik dan haknya. Padahal hukum bukanlah alat memuaskan syahwat dengan dalil mencari keadilan. Sebagaimana ungkapan Yusril Ihza M., “Demokrasi kita sekarang bergantung pada kekuatan baru: kekuatan uang dan modal. Apa demokrasi seperti ini yang mau dijalankan? (nasional.sindonews.com, 13 feb 2021).
Dalam penyelesaian sengketa administrasi, penulis meyakini hukum akan menemukan jalan kebenaran dan keadilan walaupun dibayangi dengan kekuatan modal sekalipun. Gustav Radbruch mengatakan hukum adalah untuk menciptakan kepastian, kemanfaatan dan keadilan hukum. Hukum sebagai ilmu pengetahuan disepakati untuk mengatur lalu-lintas perilaku manusia supaya dapat berjalan harmonis, tidak saling sikut dan berkeadilan.
Hukum tidak lahir di ruang hampa. Ia lahir diruang yang terang dengan berpijak pada politik dan hukum untuk mengantisipasi ataupun menjadi solusi atas terjadinya kemanfaatan yang disebabkan oleh potensi-potensi negatif. Bagaimanapun juga, tujuan penetapan atau keputusan hukum adalah untuk menciptakan keadilan. Oleh karena itu, hukum harus ditaati walaupun jelek dan tidak adil.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1/P/PAP/2021 tanggal 1 Febuari 2021, menurut UU Pilkada 2016 Pasal 135A ayat 9, tegas menyatakan Putusan Mahkamah Agung final dan mengikat (final dan binding). Namun oleh pihak tertentu ditafsirkan bahwa putusan tersebut dapat dilakukan peninjau kembali ke Mahkamah Agung.
Dapat dipahami bahwa alasan tersebut bersandar pada Pasal 24 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004, menegaskan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. Yang dimaksud dengan ”hal atau keadaan tertentu” antara lain adalah ditemukannya bukti baru (novum) dan/atau adanya kekhilafan atau kekeliruan hakim dalam menerapkan hukumnya.
Dengan alasan tersebut, pihak yang keberatan melakukan upaya hukum peninjauan kembali tertanggal 8 feb 20021 ke Mahkamah Agung baik oleh Pemohon YH dan Paslon No. 2 Pilkada Kota Bandar Lampung yang lalu. Tentu ini perlu diapresiasi bahkan diluruskan sehingga tidak terus-menerus buat gaduh masyrakat.
Dalam catatan ini, saya akan lebih focus pada pada dua masalah, apakah putusan MA tentang sengketa admintrasi Pilkada dapat dilakukan peninjauan kembali? dan apakah makna final dan binding putusan Mahkamah Agung dalam perkara sengketa admisnistrasi di Pilkada Kota Bandar Lampung?
Kewenangan MA
Pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 merupakan salah satu sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan daerah yang demokratis. Indikator “demokratis” dalam penyelenggaraan Pemilukada dapat diukur dari ketaatan penyelenggara Pemilukada terhadap asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Menurut konstitusi dalam penegakan hukum Pilkada (electoral law enforcement), Mahkamah Agung menangani tindak pidana, pelanggaran, sengketa proses Pilkada. dan Mahkamah Konstitusi menangani perselisihan hasil Pilkada.
Kewenangan Makamah Agung dalam memutus sengketa penanganan pelanggaran administrasi pemilihan, lahir atas perintah UU PIlkada. Disinilah MA telah berkontribusi yang sangat signifikan terhadap pembangunan demokrasi, melalui putusan yang mengoreksi bentuk pelanggaran adminstrasi yang ditetapkan oleh KPU baik tingkat Provinsi maupun Kabupaten Kota.
Jauh lebih luas, keberadaan MA telah mampu menjamin, memastikan dan mengawal suara rakyat yang telah diberikan melalui Pilkada. Dengan kata lain, MA memastikan hasil suara yang telah ditetapkan melalui pleno KPU adalah sesuai dengan kehendak rakyat yang sesungguhnya.
Pemberian suara oleh rakyat tersebut harus dijaga, tidak boleh ada manipulasi, intimidasi dan bahkan dipergunakan untuk memenuhi kepentingan seseorang dan sekelompok elite untuk berkuasa dengan dalih dan cara menggunakan kewenangan lembaga penyelenggara melalui persidangan administrasi untuk merampas hasil suara rakyat, yang akhirnya dapat mencederai makna demokrasi sesungguhnya.
Pelanggaran Adminstrasi
Pelanggaran administrasi menurut UU Pilkada 2016, merupakan sengketa pemilihan pelanggaran yang terjadi secara terstruktur sistematis dan massif, yang terjadi antara Pemilih, Pemantau Pemilih, Peserta Pemilihan, Tim Kampanye dan atau Bawaslu Kabupaten/kota melawan calon Gubernur/Bupati/Waikota dan calon Wakil Gubernur/Wakil Bupati/Wakil Walikota. Dapat diterjemahkan sengketa administrasi merupakan rezim pilkada yang tunduk pada UU Pilkada.
Dalam melaksanakan sengketa pelanggaran ini dilaksanakan oleh Bawaslu Provinsi Lampung sebagaimana secara utuh di atur dengan Perbawaslu N0. 9 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penanganan Pelanggaran Administrasi Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang Terjadi Secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif.
Laporan Pelanggaran Administrasi Pemilihan TSM disampaikan sejak tahapan penetapan Peserta Pemilihan sampai dengan hari pemungutan suara, tentang waktu pemungutan suara ditentukan oleh jadual tahapan Pilkada oleh KPU. Tahapan Pilkada mulai tahapan persiapan, pelaksanaan dan tahap akhir Pilkada.
Menilik sengketa pelanggaran administrasi Pilkada di Kota Bandar Lampung lalu: hasil persidangan Bawaslu, pada tanggal 5 Januari 2021, Bawaslu Provinsi Lampung melalui Putusannya Nomor 02/Reg/L/TSM-PW/08.00/XII/-2020, telah memutuskan: 1) Menyatakan Terlapor terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan massif berupa perbuatan menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih; 2) Menyatakan membatalkan pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bandar Lampung Nomor Urut 03, dan 3) Memerintahkan kepada KPU Kota Bandar Lampung membatalkan keputusan KPU Kota Bandar Lampung terkait penetapan Terlapor sebagai pasangan calon dalam Pemilihan.
Pada tanggal 8 Januari 2021, Komisi Pemilihan Umum Kota Bandar Lampung menindaklanjuti putusan Bawaslu Provinsi Lampung melalui Keputusan Nomor 007/HK.03.1-Kpt/1871/-KPU-Kot/I/2021, memutuskan dengan menetapkan Pembatalan Pemohon sebagai Pasangan Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota pada Pemilihan Wali Kota Bandar Lampung Tahun 2020.
Putusan Makamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 P/PAP/2021, tertanggal tanggal 22 Januari 2021,memutuskan: 1) Mengabulkan permohonan Pemohon Hj. Eva Dwiana, S.E. dan Drs. Deddy Amarullah, untuk seluruhnya; 2) Menyatakan batal Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kota Bandar Lampung Nomor 007/HK.03.1-Kpt/1871/KPU-Kot/I/2021, tanggal 8 Januari 2021, tentang Pembatalan Pasangan Calon Peserta Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bandar Lampung Tahun 2020, atas nama Pasangan Hj. Eva Dwiana, S.E. dan Drs. Deddy Amarullah, Nomor Urut 03. Kemudian KPU Kota Bandar Lampung menerbitkan keputusan No.056/HK.03.1-Kpt/1871/KPU-kot/II/2021 tentang Penetapan kembali pasangan calon peserta pemilihan walikota dan wakil walikota Bandar Lampung tahun 2020.
Arti final dan binding
Apakah pihak yang berkeberatan atas putusan tersebut dapat melaksanakan peninjau kembali? Menurut Pasal 135A Ayat (9) UU No. 10 Tahun 2016 menegaskan Putusan Mahkamah Agung bersifat final dan mengikat. Artinya Putusan Makamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 P/PAP/2021 dengan mengabulkan permohonan Paslon 3, adalah final dan binding.
Menurut penulis, final artinya pertama dan terakhir, tidak ada upaya hukum lainnya yang dapat ditempuh sesudahnya. Konsekuensi dari putusan final adalah langsung berlaku mengikat sejak dibacakannya putusan. Karena pasal 135A ayat 9 ini di desain dan dipahami dalam penyelesaian sengketa Pilkada dilaksanakan sesegera mungkin untuk mendapatkan kepastian hukum. Basis sengketa ada pada tiap tahapan Pilkada, di mana bilamana terjadi sengketa harus diselesaikan sebelum tahapan lain berjalan.
Memperhatikan Pasal 11 PERMA No. 4 Tahun 2017, tentang Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administrasi Pemilihan Umum di Mahkamah Agung menegaskan Putusan perselisihan pelanggaran administrasi pemilihan umum, bersifat final dan mengikat serta tidak dapat diajukan kembali. Artinya PERMA ini telah menutup dan membatalkan kesempatan siapapun untuk melakukan upaya hukum kembali.
Masalah arti final dan bending dalam putusan sengketa administrasi Pilkada?. Hemat penulis, bersifat final dan mengikat (binding) mengandung 5 (empat) makna secara politik dan hukum, yaitu: Pertama, bersifat final merupakan konsekuensi logis atas konstruksi peradilan administrasi khusus dalam UU Pilkada, yang meletakkan putusan MA sebagai keputusan terakhir tanpa ada peninjauan kembali atau alternatif.
Kedua, bersifat final merupakan upaya untuk menjaga dan melindungi serta mengawal demokrasi, sesuai regulassi Pilkada sifat perdilan ini adalah khusus. Jika dalam kekhususannya dibiarkan atau dibuka upaya hukum, maka tentu tidak ada bedanya dengan peradilan biasa, yang biasanya sebuah perkara diajukan upaya hukum terhadap putusan yang akan memakan waktu yang sangat panjang. Akibatnya adalah, para pihak akan saling sandera, baik waktu, tenaga, maupun biaya yang pada akhirya putusan yang adil pun akan kehilangan makna apabila diputus dalam waktu yang lama dan tidak dapat segera diakses oleh masyarakat yang berhak (justice delayed, justice denied).
Ketiga, bersifat final dimaksudkan agar dapat menyelesaikan persoalan dan memberikan kepastian hukum secara cepat sesuai dengan prinsip peradilan cepat dan sederhana, mengingat perkara yang diajukan kepada MA merupakan perkara yang berkaitan dengan proses politik peralihan kepemimpinan di daerah, sehingga membutuhkan kepastian hukum dan terikat dengan limitasi waktu agar tidak mengganggu keberlangsungan agenda pergantian kepala daerah dan wakil kepala daerah yang sudah ditentuakan oleh peraturan perundang-undangan.
Keempat, bersifatfinal dalam artian tidak ada lembaga yang lebih tinggi dari Mahkamah Agung yang dapat mengkoreksi putusannya, kecuali putusan lembaga peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung.
Kelima, bersifat final dan mengikat dimaksud adalah tidak ada upaya peninjauan kembali pasca putusan itu dibacakan. Dengan kata lain tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh terhadap putusan tersebut, kecuali mentaati putusan tersebut.
Penutup
Putusan Mahkamah Agung dalam Pilkada Kota Bandar Lampung, bermakna final dan mengikat (verbindende kracht) berarti putusan ini merupakan upaya terakhir (the last resort) dalam sengketa Administrasi TSM Pilkada tidak ada upaya lainnya.
Terakhir, putusan ini telah menempatkan bahwa Mahkamah Agung sebagai batu uji terakhir dalam sengketa adminisrasi Pilkada yang memiliki otoritatif sebagai pengendali, pengawas, pengontrol dan memutus konflik pilkada akibat dari kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan lembaga penyelenggara Pilkada secara liar dan sewenang-wenang.
Komentar