oleh

Saat Jurnalis Kalah Dengan Algoritma

-Opini-247 views

Oleh : Abung Mamasa

Pemimpin Redaksi Harian Kandidat

 

Sebuah kutipan dari Imam Al-Ghazali yang sangat terkenal ”Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis”.

Kalimat ini bukan kalimat biasa, ini seharusnya menjadi motivasi bagi para penulis bahkan jurnalis.Imam Al-Ghazali memberikan motivasi yang lebih jauh dan mendalam untuk mendidik generasi penerus umat untuk melestarikan dan mengarsipkan setiap apa yang dipikirkan kemudian ditulis.

Imam Al-Ghazali tidak hanya dikenal sebagai intelektual multidimensi dengan penguasaan ilmu multidisiplin, tetapi beliau juga dikenal dengan hujjatul islam (pembela Islam), juga alim al-ulama (doktor keislaman) dan warits al-anbiya (pewaris para Nabi).

Penulis bukan ingin membahas lebih dalam tentang Imam Al-Ghazali, namun salah satu penyemangat bagi kita adalah quotes dari pewaris Nabi ini. Karena dengan menulis kita akan dikenang dan ini bukan hanya soal cuan. Bahkan Pramoedya Ananta Toer dalam kutipannya yang terkenal mengatakan “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah”

Namun pergeseran sedikit demi sedikit mulai terjadi, Jurnalis mulai kehilangan intuisi untuk menulis. Iming-iming pendapatan yang lebih besar dari gaji di Kantor menjadi salah satu alasan untuk meninggalkan dinamisnya mengejar berita, tergopoh-gopoh saat deadline dan mengolah data menjadi berita. saat ini muncul fenomena banyak jurnalis yang sudah tidak serius lagi menulis dan perlahan kecanduan menjadi konten creator di Media Sosial, Orientasinya jelas ya Cuan.

Bahkan penulis pun sempat tergiur dengan tawaran pendapatan dari platform yang ada di Media Sosial. Salah satu kawan yang sudah berhasil ‘menaklukkan’ Facebook Pro berpromosi hasilnya lumayan tiap bulan dolar mengalir. Kuncinya adalah konsistensi membuat konten. Meskipun Ia sadar hal itu mengorbankan konsistensinya dalam menulis berita.

Baca Juga:  Catatan Kaki 33 Janji Kerja Arinal-Nunik

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak jurnalis yang mulai meninggalkan dunia kepenulisan serius dan beralih menjadi konten kreator di media sosial. Fenomena ini terjadi karena berbagai faktor, terutama dorongan ekonomi. Menulis berita dengan standar jurnalistik yang tinggi sering kali tidak menghasilkan cuan yang cukup, sementara bermain di media sosial menawarkan peluang pendapatan lebih besar melalui iklan, endorsement, atau monetisasi lainnya.

Namun, pergeseran ini membawa dampak yang tidak bisa diabaikan: kualitas jurnalistik menurun drastis. Para jurnalis yang dulu dikenal kritis dan tajam kini lebih sibuk mencari formula viral dibanding menggali berita mendalam. Tanpa pemahaman algoritma yang memadai, mereka sekadar ikut-ikutan tren tanpa strategi yang jelas. Akibatnya, banyak dari mereka yang akhirnya terjebak dalam konten dangkal dan sensasional demi engagement.

Dampak lain yang lebih mengkhawatirkan adalah kemalasan menulis. Jika dulu jurnalis bekerja keras mencari berita, mewawancarai narasumber, dan melakukan verifikasi data, kini banyak yang hanya menunggu rilis dari pemerintah atau lembaga tertentu. Lebih parahnya lagi, beberapa bahkan melakukan copy-paste tanpa upaya menelusuri kebenaran informasi tersebut. Hal ini jelas bertentangan dengan kode etik jurnalistik yang menjunjung tinggi keakuratan dan independensi.

Fenomena ini menjadi alarm bagi dunia pers. Jika tren ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin profesi jurnalis akan semakin terpinggirkan, digantikan oleh para kreator konten yang lebih mengutamakan sensasi ketimbang substansi. Bukan berarti jurnalis tidak boleh memanfaatkan media sosial, tetapi semestinya mereka tetap menjaga idealisme dan profesionalisme. Alih-alih sekadar mengejar cuan dari algoritma, para jurnalis seharusnya memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk menyebarkan jurnalisme berkualitas.

Jika tidak, kita akan menghadapi era di mana berita tidak lagi dihasilkan dari proses jurnalistik yang berintegritas, melainkan dari keinginan untuk viral semata. Dan itu, tentu saja, adalah kemunduran bagi dunia pers dan demokrasi.

Baca Juga:  Setelah Mantan Dirjen Keuda Diborgol, Siapa yang Bakal Dijemput dari Lampung

“Wallahu a’lam bishawab” Tabik Pun

 

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed