oleh

Dewan Nyolong Singkong

-Din Bacut-141 views

Siang itu, kedai kopi Dek Yanti makin ramai. Lokasinya menumpang di halaman parkir gedung perkantoran pemerintah yang cat dindingnya mulai memudar. Kedai ini sederhana, dengan beberapa bangku plastik warna-warni yang sudah aus.

Dari kejauhan, aroma kopi tubruk dan gorengan hangat menyambut siapa pun yang melintas. Di salah satu sudut, empat lelaki duduk melingkar. Mereka bukan pegawai kantor atau mahasiswa magang yang numpang Wi-Fi.

Mereka para penyambung hidup di tengah kerasnya dunia nyata: Din Bacut, si mantan sopir truk pengangkut singkong, Kiay Sudir, petani tua,Lek Parno, pensiunan mandor pabrik dan Mang Oren Siburitan, jurnalis lokal yang masih setia menulis di media daring.

Empat sekawan yang selalu bertemu di kedai Kopi, keluhan mereka sama soal permainan harga singkong di Kabupaten Lintang Utara yang makin memiskinkan petani.

Dahulu kabupaten Lintang Utara berjaya dengan tanaman Lada, namun lambat laun animo mereka berkurang dan tergiur dengan menaman singkong. Tanpa ampun tanaman lada ditebas, tak ada lagi kebanggaan sebutan Bumi Lada, berharap di tapioka namun berujung sengsara.

“Aku baru dari Balangan Timur kemarin,” kata Din Bacut sambil meniup kopi hitamnya. “Truk-truk dari luar daerah malah diprioritaskan. Kita yang dari sini, ditahan dua malam. Bayar keamanan, bayar cek singkong, nunggu giliran yang nggak kunjung datang.”

Kiay Sudir mengangguk pelan. Kerut wajahnya makin dalam, matanya menatap kosong ke arah langit-langit kedai yang bolong di beberapa titik.

“Lima ton singkongku cuma dihargai seribu seratus per kilo, Din,” ucapnya lirih. “Setelah potongan ini-itu, aku malah nombok. Padahal tanamnya enam bulan. Berarti kita kerja bukan buat untung, tapi buat rugi pelan-pelan.”

Baca Juga:  Komisioner Makelar Suara (Bagian II)

Lek Parno menyalakan rokok kreteknya, lalu mengangguk pelan. “Masalahnya bukan cuma di harga, Sudir. Ini sistem yang kacau. Aku dulu kerja di pabrik, aku tahu. Ada ‘orang dalam’ yang atur giliran bongkar. Truk dari luar itu, udah pasti setor lebih dulu.”

Mang Oren menatap mereka bertiga. Dengan gayanya yang khas Ia mengeluarkan catatan kecil dari saku kemejanya, seperti biasa.

“Aku udah nulis soal ini, banyak,” ungkapnya. “Tapi tanggapan dari atas? Nihil. Anggota Dewan bisanya cuma manggut-manggut pas audiensi. Habis itu, ya ambyar. Kata warga, udah ada ‘setoran bulanan’ dari pabrik ke pejabat-pejabat termasuk ke anggota dewan juga.”

“jadi informasi itu benar, kalau anggota dewan juga diduga menerima setoran dari pabrik. Kenapa tega ya makan uang petani,”sergah Din Bacut.

Suasana mendadak hening. Angin pagi meniup lembut, menggoyang-goyang plastik bekas iklan kopi yang dijadikan tirai di kedai. Dari arah dapur, Dek Yanti muncul membawa sepiring pisang goreng.

“Tambah ini dulu, biar nggak pahit semua,” katanya sambil tersenyum. Tapi senyum itu terasa getir.

“Yanti,” kata Din Bacut, “Bapakmu juga kan masih ngangkut singkong?”

Yanti mengangguk. “Iya, semalam nginep lagi di halaman pabrik. Dua malam nggak pulang. Kalau nggak ngalah, nggak dapet giliran. Kalau nggak setor, ya disingkirin.”

“Mau sampai kapan begini?” tanya Lek Parno.

“Sampai kita bersuara lebih keras,” jawab Mang Odon. “Bupati baru, Pak Harmanoni katanya ngerti pertanian. Bila perlu kita juga menghadap Gubernur baru, Pak Mariza, beliau kan asli dari Lintang Utara, Kita mesti tembus dia. Jangan lewat Dewan atau Dinas yang udah main mata.”

Kiay Sudir menatap meja, jari tuanya mengelus tulisan usang di sana: “Petani bukan mesin penghasil rugi.”

“Kalau Bupati dan Gubernur nggak gerak juga,” katanya lirih, “berarti negara ini benar-benar sudah kehilangan telinganya.”

Baca Juga:  Kartu Pak Tani Bergaya Versus Singkong Goreng

“Ya negara harus hadir dalam persoalan petani, pemimpin kita jangan kalah dengan oligarki,”tegas Mang Oren.

Suasana Kembali hening, lamunan empat sekawan jauh membumbung tinggi dan berharap kepempimpinan baru mampu memenuhi ekspektasi petani.Mereka menunggu aksi Bupati Harmanoni dan Gubernur Mariza.

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed