oleh

Rentang Kendali Desa Randu Bojong

Di balik rerimbunan pohon randu dan deretan pabrik penggilingan padi yang berdiri gagah di ujung selatan Desa Randu Bojong.

Tetua dan warga dibuat resah, Keresahan itu mulai merambat seperti asap bakaran jerami di musim panen. Dusun Randu Pocong, wilayah paling makmur di desa itu, tengah mempersiapkan langkah besar untuk memekarkan diri.

Dan seperti biasa, kabar burung di desa lebih cepat dari pesawat tempur bahkan lebih cepat dari kedipan mata.Bahkan jurus langkah seribu, Yono Sedeng Pendekar Kapak Miring kalah cepat dari kabar itu.

Pendapatan desa Randu Bojong sebagian besar, lebih dari 60 persen, berasal dari Dusun Randu Pocong. Dari hasil panen padi, perkebunan sayur mayur, hingga retribusi dari penggilingan padi yang hampir tiap hari mengeluarkan debu dan suara bising seperti genderang perang. Desa induk yang terdiri dari dusun-dusun kecil lain lebih mirip beban ekonomi ketimbang partner pembangunan. Tapi siapa berani bicara terus terang?

“Rentang kendali,” kata para tokoh Randu Pocong, sambil menunjuk peta dan membuat wajah serius seperti hendak mengatur strategi perang. Mereka berdalih lokasi mereka lebih dekat dengan Kecamatan Marga Rahayu dibanding balai desa Randu Bojong. Tapi alasan sebenarnya tidak bisa ditutupi dari mata Ki Ageng Sikilwedus, tetua desa yang tampak kurus, dengan tongkat bengkok dari kayu asam dan mata yang seperti pernah melihat zaman penjajahan tiga kali.

“Suro Wilogo mau menjadikan anaknya kepala desa,” bisik Ki Ageng kepada Manto Pedotjanji, mantan sekretaris desa yang dulu janji bikin irigasi tapi sampai sekarang yang mengalir cuma janji. “Lihat saja, kalau dusun itu mekar, Bayu Nesuto pasti dicalonkan. Ini bukan soal rentang kendali, ini soal rentang kekuasaan.”

Manto mengangguk-angguk, entah mengerti atau hanya teringat cicilan motor. Di pojok balai desa, Mbak Surijem sedang menyapu halaman sambil menggumam lagu dangdut patah hati. Ia tahu semua hal di desa, terutama yang tidak dikatakan secara langsung.

Baca Juga:  Warga Bartim Terpapar Korona Bertambah 27 Orang

“Suro Wilogo itu bukan orang sembarangan,” katanya sambil menyapu. “Dulu waktu tanahnya mau dibeli buat jalan desa, dia ngasih harga tiga kali lipat. Sekarang malah jadi donatur utama acara sedekah bumi. Tapi uangnya dari mana ya? Dari beras atau dari niat?”

Desas-desus makin panas setelah Pak Camat Dirga Matomoney, pejabat berjas licin yang dompetnya dikenal lebih cepat dari keputusannya, kerap terlihat mampir ke rumah Suro Wilogo. Warga bilang setiap kali datang, ia pulang dengan plastik berisi beras, durian, dan sesuatu yang tidak terlihat tapi baunya tajam: aroma transaksi.

Demang Surikiti, kepala desa yang sekarang, hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia merasa seperti kapten kapal yang lambungnya mulai bocor tapi awaknya malah sibuk selfie dengan pelampung. “Kalau Randu Pocong mekar, anggaran desa kita tinggal kentut,” katanya pada rapat desa yang lebih mirip kumpulan pengajian ibu-ibu dengan level gosip maksimal.

Sumini Rondoireng, janda empat kali yang dikenal suaranya bisa membuat ayam berhenti berkokok, ikut berkomentar, “Kalau dusun kaya itu pergi, tinggal kita yang makan nasi jagung, lauknya berita.”

Rencana pemekaran itu kini seperti uap panas dari tungku penggilingan, makin lama makin menyengat. Tapi desa Randu Bojong, dengan segala keluguan dan jebakan kepentingan, masih belum bisa menentukan langkah. Sementara Ki Ageng Sikilwedus hanya duduk di serambi, memandangi cakrawala sambil membatin: “Pecahnya desa bukan karena jarak, tapi karena hati yang sudah dikasih harga.”
Hari-hari berikutnya, suasana Desa Randu Bojong makin hangat. Bukan karena musim kemarau, tapi karena obrolan soal pemekaran dusun makin membara. Bahkan tukang gorengan di pasar mulai jual “tahu isi isu pemekaran”, lengkap dengan cabe rawit yang bisa bikin lidah dan emosi sama-sama terbakar.

Baca Juga:  Sekcam Indra Jadi Orator RPKP Kampung Bumi Agung

Rapat demi rapat digelar di balai desa. Kursi plastik, yang biasanya cuma dipakai pas hajatan, sekarang disusun rapi seperti sidang DPR mini. Tapi hasilnya? Nol besar. Yang ada malah Manto Pedotjanji bolak-balik ke WC karena kebanyakan minum kopi tubruk gratisan.

“Ini semua hanya pemuas ekspektasi politik,” gerutu Ki Ageng Sikilwedus yang sedang menatap sawah sambil mengelus kambing peliharaannya, si Gendhuk. “Seperti sate pakai kecap banyak, tapi dagingnya dua tusuk, sisanya lemak.”

Rencana pemekaran dusun Randu Pocong perlahan berubah jadi semacam festival ambisi. Bayu Nesuto, anak Suro Wilogo, mulai ganti gaya. Biasanya naik motor butut, sekarang pakai mobil pickup dimodif seperti mobil kampanye: ada speaker, ada tulisan “Rakyat Butuh Perubahan, Bukan Perpanjangan Janji!” — padahal belum juga ada pemilihan.

Warga mulai bingung, apakah ini dusun mau mekar atau mau bikin boyband?

Mbak Surijem, yang mulai jadi komentator tidak resmi desa, bilang, “Dulu waktu Bayu masih kecil, mainnya cuma layangan. Sekarang mainnya perasaan warga. Lebih bahaya, soalnya anginnya dari banyak arah.”

Pak Camat Dirga Matomoney makin sering datang. Katanya untuk “meninjau kesiapan administrasi pemekaran”, padahal tiap kali datang cuma makan ketan durian dan minta dipijit. Bahkan pernah tertangkap kamera warga sedang bercanda mesra dengan kambing piaraan Suro Wilogo. “Lihat tuh, bahkan kambingnya pun dirayu,” kata Sumini Rondoireng sambil nyengir, “pantas aja keputusan camat selalu empuk.”

Di sisi lain, Demang Surikiti makin stres. Ia mencoba strategi baru: bikin spanduk motivasi di sepanjang jalan desa. Ada yang tulisannya:

“Pemekaran tak menyelesaikan masalah, hanya memecah piring warisan.”

“Kalau mau mandiri, jangan cuma minta, coba bawa proposal.”

“Kepala desa bukan cita-cita, itu pekerjaan berat, bukan gelar bangga-banggaan.”

Baca Juga:  Audiensi BEM Unila dengan Pj. Bupati Pringsewu: Bahas Penguatan Kolaborasi Dengan Pemerintah Daerah

 

Tapi spanduk-spanduk itu malamnya sudah diganti sama anak-anak muda pendukung pemekaran. Mereka pasang baliho Bayu Nesuto ukuran 3×4 meter pakai pose tangan menunjuk ke awan, dengan slogan: “Dari Randu Pocong untuk Nusantara”

“Lha ini dusun mau mekar atau mau ikut pemilu presiden?” tanya Ki Ageng sambil garuk-garuk kepala.

Sementara itu, rapat besar akhirnya dijadwalkan. Semua warga hadir. Bahkan kambing Gendhuk pun ikut duduk diam di pojok. Di forum itu, Suro Wilogo bicara panjang lebar soal potensi dusunnya, pentingnya otonomi lokal, hingga masalah rentang kendali yang katanya bikin pengajuan anggaran seperti main ular tangga—naik turun tak tentu arah.

Namun di tengah pidatonya, Ki Ageng berdiri, batuk dua kali, lalu berkata pelan tapi jelas, “Jangan sampai pemekaran cuma jadi pemuas ekspektasi pribadi yang dikemas pakai alasan rakyat. Nanti rakyat cuma jadi penonton, seperti biasa. Yang senang cuma yang punya baliho.”

Semua hening. Bahkan cicak di langit-langit mendadak berhenti bergerak.

Tapi tentu saja, beberapa hari kemudian, Suro Wilogo mengundang warga untuk makan-makan di rumahnya. Ada sate kambing, nasi liwet, dan hiburan organ tunggal. Rakyat pun gembira. Mereka lupa rapat, lupa polemik, bahkan lupa utang koperasi. Bayu Nesuto ikut nyanyi lagu koplo remix, dan malam itu Randu Pocong seolah tak lagi ingin merdeka, karena sudah merdeka dari lapar dan bosan.

Dan begitulah, wacana pemekaran terus bergulir… seperti roda pedati yang diganjal batu kecil: kadang jalan, kadang mentok, kadang pura-pura rusak supaya bisa istirahat.

Tapi yang pasti, Desa Randu Bojong tetap bertahan. Karena kalau desa itu pecah, lalu siapa yang akan membeli tahu isi dan bergosip sambil antre pupuk subsidi?

Ya, hidup harus terus berlanjut, meskipun kadang dusun yang ingin mekar hanya ingin panggung—bukan pembangunan.

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed