oleh

Ngapung Bareng Walikota

-Din Bacut-325 views

Kota Bandar Ngapung makin terkenal, sayangnya bukan karena prestasi, melainkan karena kemampuan warga berenang dadakan tiap musim hujan datang.

Bahkan saking lihay kemampuan warga berenang, pengurus organisasi renang akan merekrut warga sebagai atlet renang berprestasi, dan akan dilatih lebih profesional dan semakin tanggap saat banjir datang.

Maklum, sudah menjadi kalender tetap, begitu hujan dua jam saja, warga berubah profesi menjadi atlet renang, dan mobil-mobil berubah fungsi jadi perahu darurat.

Di tengah derita rakyat, Walikota Ipah Dewiyanah justru sibuk menggunting pita. Kali ini, dia tersenyum lebar di depan kamera, meresmikan Jembatan Pelangi senilai puluhan miliar.

Jembatan membentang gagah, sebagai penghubung antara Kantor Pemkot dan Masjid meski tidak ada urgensinya untuk mengatasi banjir.

Tidak ada sungai di bawahnya,tidak ada jurang, bahkan genangan pun tidak ada. Tapi dengan bangga, Bunda Ipah mengatakan Jembatan itu Simbol Kota, ya menjadi simbol kota yang terapung banjir.

Sementara itu, di pinggir kota, program Kali Pengkolan yang dulu dijanjikan akan mengatasi banjir sampai akar-akarnya kini malah lebih mirip selokan tempat warga cuci kaki. Air yang harusnya mengalir lancar malah mampet, penuh lumpur, plastik, dan cerita rakyat.

Setiap kali banjir datang, Walikota Ipah muncul bak superhero. Turun dari mobil mewah, membagi sembako dan amplop berisi uang kopi.

Setelah foto-foto, beliau langsung kabur sebelum sandal warga sempat terlempar. Tidak ada rapat darurat, tidak ada proyek pencegahan, hanya postingan di. Media sosial bertuliskan:
“Bunda Selalu ada di Tengah Bencana” Berharap simpati netizen justru menuai hujatan.

Di sisi lain, anggota DPRD Kota Bandar Ngapung malah lebih sibuk dengan kegiatan vital negara mengumpulkan “sisa recehan” dari kegiatan reses, dan kunjungan kerja ke kota-kota yang, anehnya, selalu berlokasi di dekat pusat belanja atau resort wisata.

Baca Juga:  Kadis Rusak Citra Gubernur

Banjir berlumpur di Kecamatan Rejang yang sampai menelan korban jiwa? Ah, itu dianggap “bencana musiman”, seperti musim kodok kawin di musim penghujan.

Cibiran warga sudah membubung setinggi tiang listrik. Tapi apa daya, di kantor Pemkot dan DPRD, yang terdengar hanya suara ketikan proposal kunjungan kerja, bukan ketukan solusi.

Berita banjir sudah tentu menjadi bahasan serius Di pelataran parkir Kantor Gubernur, warung sederhana milik Dek Yanti  “Kopi Slemon”, kopi racikan spesial yang dijamin, sekali teguk langsung move-on dari patah hati maupun banjir.

Kudapannya? Legendaris ya Tahu Bunting Isi Kecambah, tahu goreng sederhana, tapi penuh semangat perlawanan.

Di warung itu, para legenda lokal seperti Din Bacut, Mat Gebok, Udin Sekong, dan Yati Semok wartawati senior dengan jari-jari lebih cepat dari modem, sering nongkrong sambil mengomentari dunia.

“Kayaknya Walikota kita sebentar lagi bikin program baru deh,” kata Din Bacut sambil menyeruput Kopi Slemon.

“Program apa, Din?” sahut Udin Sekong sambil ngunyah tahu bunting.

“Program Ngapung Bareng Walikota. Jadi kalau banjir, warga diajak naik kereta gantung. Bayarnya pake sembako,” jawab Din serius.

Mereka semua tertawa terbahak, sampai nyaris tersedak kopi.
Karena ya, di Bandar Ngapung, yang mengapung bukan cuma warga  tapi juga janji-janji politik.

Kota ini sudah lama tenggelam, bukan hanya oleh air banjir, tapi juga oleh omong kosong yang mengalir deras tanpa bendungan.

Dan begitu hujan turun lagi minggu itu, banjir meluas. Walikota Ipah sibuk mencari sudut foto terbaik di jembatan baru, sementara anggota DPRD sibuk memilih hotel untuk studi banding banjir ke kajarta.

Sementara Din Bacut, Mat Gebok, Udin Sekong, dan Yati Semok masih setia di bawah tenda warung Dek Yanti, memegang secangkir Kopi Slemon, sambil terkikik pahit:
“Aguyyyy..Ngapung terus, Bandar Ngapung. Ngapung terus.

Baca Juga:  Jaksa Untung Latak Litung

 

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed