oleh

Profesor Bangsat Itu Plagiat

-Din Bacut-1,791 views

Pagi itu, angin semilir membawa aroma gorengan hangus dan integritas akademik yang terbakar. Di Kedai Kopi Slemon milik Dek Yanti, janda gemoy mantan TKW Arab yang kini menjual kopi dengan iming-iming sekali minum langsung move on dari mantan yang tak harap Kembali.

Tiga lelaki  duduk melingkar, Din Bacut, akrab dipanggil kakek segala tahu yang saat ini concern menjadi pengamat lokal maupun interlokal. Penghobi gossip hangat sampai dengan gossip dingin, sedingin kasus yang tidak ada perkembangannya di Kejaksaan Latak Litung.

Lalu Mat Kidas, mantan aktivis yang kini aktif mengoceh di grup WA RT, RW dan Kelurahan dan giat mensosialisasikan pentingnya berkumpul sambil ngopi dan update berita terkini tapi bayarnya ngutang.

 

Dan Parno Medotjanji, pensiunan guru yang dulunya terkenal karena janji kampanye tapi gagal total mewujudkan program ternak ikan di parit sekolah dan selalu percaya jika mantan saat SMA akan berreinkarnasi dalam bentuk apapun.

Di depan mereka bertiga mengepul tiga cangkir Kopi Slemon. Slogannya sederhana, “Sekali Minum Langsung Move On.” Tapi hari ini, move on rasanya makin susah. Bukan karena cinta, tapi karena berita. Judulnya bikin jantung berdesir: “Rektor, Jurnal, dan Joki Plagiat: Drama Akademik Unilat Season Terbaru.”

 

Universitas Latak Litung (Unilat), kampus tertua di provinsi paling barat Pulau Santeria, kembali bikin ulah. Seolah-olah mereka sedang berlomba bikin dosa akademik terbanyak sebelum akreditasi berikutnya.

Kasus lama, yakni gratifikasi sang mantan rektor Prof. Sodom Coromoney, belum juga lenyap dari ingatan warga Latak litung. Kini, muncul nama rektor baru, Prof. Lossiyeh Demenpiti, yang entah bagaimana, terlibat dalam dugaan plagiat jurnal internasional.

Dan lebih tragisnya lagi, suaminya malah disebut-sebut jadi makelar proyek di dalam kampus. Universitas kok rasanya lebih mirip holding company keluarga Sakinah mawadah warohmah Wallahu a’lam bissawab.

Baca Juga:  Pemprov Pelihara Pejabat Mesum

“Kayak sinetron di TV Ikan Terbang,” gumam Parno Medotjanji sambil ngelap kacamata buramnya, “bedanya, ini bukan fiktif. Ini nyata, dan biadab, brengsek dan Bangsat.”

 

Yang lebih bikin mual, adalah tokoh bayangan yang kini jadi sorotan, Rejal Perdona, diduga sebagai joki utama dalam drama plagiat ini.

Rejal, katanya, bukan sekadar joki, tapi sudah seperti ghostwriter professional bisa bikin satu jurnal jadi tiga, tinggal ganti judul dan nama penulis. Dan hebatnya, jurnal itu tembus internasional. Bukan karena kualitas, tapi karena doi tahu pintu belakang lebih efisien daripada lewat ruang kelas.

“Jurnal itu sekarang kayak nasi bungkus,” kata Mat Kidas sambil menyeruput kopinya. “Isi bisa beda, tapi bungkusnya tetap kertas koran yang bau amis.”

 

Surat undangan pemeriksaan resmi dari Senat Unilat pun mulai beredar. Ditandatangani oleh Ketua Senat periode 2023-2027,Prof. Pertiwi Kilikili, yang namanya lebih cocok jadi karakter kartun daripada pengawal integritas akademik.

Dalam surat itu disebutkan yakni telah terjadi dugaan pelanggaran berupa penambahan nama penulis yaitu Rejal Perdona dari yayasan kampus yang bahkan tak paham isi risetnya sendiri.

Tapi ini bukan hal baru. Di Unilat, “menambahkan nama” lebih sakral daripada menambahkan catatan kaki. Semakin tinggi jabatan, semakin besar peluang untuk nyempil di daftar penulis. Kontribusi? Cukup kirim emoji jempol di grup WhatsApp peneliti.

 

“Aku tuh gak habis pikir,” kata Parno lagi, “kok bisa kampus sekelas Unilat, yang dulu didirikan atas nama ilmu pengetahuan dan cita-cita cendekia, sekarang jadi ladang proyek dan ajang perjokian akademik?”

Din Bacut hanya tersenyum kecut. Sebagai mantan mahasiswa abadi yang gagal skripsi karena lebih sibuk main catur di kantin, Dia tahu betul betapa ilmu sering kali dikalahkan oleh gengsi. Apalagi di negeri ini, gelar lebih penting dari isi kepala. Asal ada embel-embel “Prof.” di depan nama, maka omongannya langsung dianggap wahyu, meski isinya kosong kayak seminar gratis yang cuma nyari sertifikat.

Baca Juga:  Gerobak Cadang Sapi Lawang

 

Di kampus Latak Litung, untuk jadi guru besar harus punya jurnal internasional. Tapi sekarang, syarat itu lebih mirip tiket konser, bisa dititipin, bisa dibeli, bahkan bisa dijokiin.

Di antara para akademisi gadungan itu, muncul istilah baru: “guru besar tempelan”, karena kontribusinya cuma sebesar stiker di motor beat karbu.

“Kita ini hidup di zaman di mana karya ilmiah bisa dibeli, dan kejujuran bisa disewakan,” ucap Mat Kidas lirih, seperti sedang membaca puisi di kuburan moral bangsa.

 

Dan hari itu, di tengah hiruk pikuk kampus yang kian bau amis, Kedai Dek Yanti menjadi tempat sakral bagi mereka bertiga menyaksikan teater besar bernama “Kebobrokan Akademik Nasional.

Di dinding warung, tergantung tulisan tangan Dek Yanti yang ditulis dengan spidol permanen:

“Ilmu tanpa integritas adalah kebohongan bersarjana.
Kopi tanpa ampas, masih lebih jujur dari jurnal yang dijoki.”

 

Mereka bertiga diam sejenak. Lalu serentak menyeruput Kopi Slemon. Pahit, getir, tapi menyegarkan kesadaran.

Dan seperti biasa, Din Bacut mencatat hari itu dalam buku kecilnya:

“Rektor boleh pintar, joki boleh canggih, tapi kebenaran tak bisa diseminarkan selamanya. Tunggu saja. Sebab kopi bisa dingin, tapi dosa tetap mendidih.”

Tertanda : Din Bacut, Peneliti Independen Bidang Gosip Akademik dan Konsultan Etika Warung Kopi.

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed