oleh

Pelukan Paling Jujur

-Opini-667 views

Abung Mamasa

Pemred Harian Kandidat

Dalam hidup berjabatan, tak semua pelukan datang dalam bentuk tepuk tangan. Kadang, pelukan sejati justru hadir dalam bentuk kritik yang pedas, tapi tulus.

Jabatan adalah ruang ujian, bukan sekadar panggung kekuasaan.

Di sana, seseorang bisa mudah terbuai pujian, terperangkap dalam zona nyaman, atau bahkan terjerumus dalam kesombongan yang diselimuti sanjungan semu.

Saat seorang teman menduduki jabatan, entah sebagai kepala dinas, Bupati, direktur, atau bahkan presiden.

Kita diuji, apakah kita akan ikut memuji tanpa berpikir, atau berani menyuarakan kebenaran walau terdengar seperti cacian? Kritik, dalam konteks ini, bukan untuk meruntuhkan jabatan seseorang, melainkan menjaga agar ia tak runtuh oleh kelalaiannya sendiri.

Teman yang baik tidak akan membiarkan temannya tersesat dalam euforia kekuasaan. Justru karena ia peduli, ia akan berkata, “Hati-hati, kau mulai berubah,” atau “Itu kebijakan yang menyakiti rakyat.”

Kata-kata semacam itu mungkin tak masuk ke hati yang sedang mabuk jabatan, tapi kelak akan dikenang sebagai suara cinta yang menyelamatkan.

Sayangnya, di dunia kekuasaan, kritik sering dianggap sebagai bentuk permusuhan. Yang dikritik marah, yang mengkritik dikucilkan.

Padahal, jabatan itu fana, tapi integritas dan kebaikan hati teman sejati akan tinggal lebih lama. Maka jika hari ini seorang pejabat dikritik oleh kawannya, itu bisa jadi pelukan paling hangat yang ia butuhkan,pelukan yang mencegahnya dari jatuh terlalu dalam.

Dalam jabatan, pujian bisa jadi perangkap. Tapi kritik yang jujur meski pahit adalah penjaga arah. Jadi hargailah teman yang berani mengkritikmu saat kau sedang berkuasa.

Sebab mereka adalah yang paling peduli, bukan karena ingin merebut jabatanmu, tapi karena tak ingin kehilangan dirimu.
Kita hidup di zaman di mana pujian lebih laris dari kejujuran. Di ruang-ruang jabatan, suara kebenaran sering dikalahkan oleh suara yang paling manis didengar.

Baca Juga:  Masyarakat Adat Lampung dan Kemerdekaan RI ke 80 sebuah paradoks

Jabatan, sebesar atau sekecil apapun itu, adalah magnet bagi pujian dan sanjungan. Orang yang dulu biasa-biasa saja, saat duduk di kursi kekuasaan, mendadak jadi “paling benar”, “paling bijaksana”, bahkan “paling suci” dalam lingkaran pengikutnya.

Maka jangan heran, jika banyak pejabat tersesat bukan karena kekurangan nasihat, tapi karena terlalu banyak mendengar pujian yang tak jujur.

Di tengah suasana itulah, kritik sejatinya hadir sebagai bentuk cinta paling tulus. Kritik adalah pelukan dalam bentuk yang berbeda.

Ia bukan pelukan lembut yang membelai ego, melainkan pelukan kuat yang mengguncang kesadaran. Teman yang mengkritikmu saat kau sedang berkuasa, bukan ingin menjatuhkanmu, tapi ingin kau tetap waras dan berpijak di bumi.

Ia lebih memilih dilabeli “tidak loyal” daripada membiarkanmu terjerembab dalam kesalahan yang tak disadari.

Dalam pertemanan yang sehat, kritik adalah napas kejujuran. Tetapi saat jabatan datang, hubungan bisa berubah. Banyak yang mendadak kehilangan keberanian untuk berkata jujur karena takut kehilangan akses, takut tak lagi dianggap dekat, atau takut dicap musuh.

Akibatnya, sang pejabat hanya dikelilingi oleh orang-orang yang bicara untuk menyenangkan, bukan untuk mengingatkan.

Dan di sinilah bahaya dimulai pemimpin bisa jadi semakin merasa benar sendiri, semakin jauh dari realitas rakyat, dan akhirnya terperosok ke jurang yang mereka gali sendiri dengan tangan-tangan penjilat sebagai sekopnya.

Teman yang berani mengkritik di tengah kekuasaan bukan sedang mencari perhatian. Ia sedang menyelamatkan. Karena ia tahu, jabatan itu hanya sementara, tapi harga diri, reputasi, dan martabat adalah sesuatu yang lebih panjang usianya.

Ia tak mau melihat sahabatnya dicatat sejarah sebagai pemimpin yang dikelilingi pujian palsu tapi gagal membawa kebaikan atau perubahan signifikan.

Baca Juga:  Pengawasan Partisipatif : Upaya Efektif Mengatasi Pelanggaran Dan Politik Uang Dalam Pemilihan Umum

Mari kita ubah cara pandang terhadap kritik, terutama bagi mereka yang sedang berkuasa. Kritik bukan serangan pribadi, tapi seruan agar tetap mawas diri.

Kritik yang disampaikan dengan niat baik dan logika yang jernih, adalah cahaya di tengah gemerlap lampu sorot kekuasaan yang kadang menyilaukan mata.

Ia adalah tanda bahwa masih ada yang peduli. Masih ada yang ingin kita sukses bukan hanya di depan kamera, tapi juga di catatan sejarah.

Dan bagi para pejabat, pemimpin, atau siapa pun yang sedang duduk di kursi kekuasaan jangan buru-buru menutup telinga saat kritik datang.

Bisa jadi, itulah pelukan paling jujur yang kalian dapatkan. Pelukan yang tak memanjakan, tapi menjaga. Pelukan yang bukan datang dari penjilat, tapi dari sahabat.

Karena cinta yang sejati, bukan hanya memberi bunga di hari bahagia. Ia juga memberi cambuk di hari kita mulai melenceng, agar kelak kita tak terjatuh sendirian.
Wallahu a’lam bi as-shawab
Tabik Pun

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed