oleh

Baru Mendarat Sudah Menjabat

-Opini-620 views

Abung Mamasa

Pemred Kandidat

Di belantara birokrasi lokal yang sumpeknya sudah bisa diperas jadi asap, kini tumbuh fenomena eksotis nan absurd, baru mendarat, sudah menjabat.

Ini bukan kisah malaikat turun dari langit, tapi pejabat titipan yang nyelonong masuk ruang kerja dengan aroma parfum kekuasaan yang menyengat ,tanpa pernah melewati ruang tunggu atau sidak lapangan.

Bayangkan seorang pejabat “impor” ,asal-usulnya kadang lebih misterius dari identitas admin akun parodi.

Kadang dari instansi antah-berantah, kadang dari orbit politik lain yang tidak dikenal para ASN lokal. Tiba-tiba nongol, duduk di kursi empuk jabatan strategis.

Meneken SK seperti mencentang daftar belanja, lalu memimpin rapat seolah-olah sudah hafal nama seluruh staf, padahal satpam kantor pun masih memanggil dia dengan “Pak… siapa, ya?”

Inilah wajah baru dari praktik lama, jabatan sebagai oleh-oleh dari ruang belakang kekuasaan.

Konon, pejabat model begini tak perlu repot-repot ikut diklat, cukup punya “kedekatan khusus” ,bisa dengan bupati, ketua partai, bahkan dengan ketua Tim Relawan atau kerabat dekat sumbu kekuasaan.

Kedekatan ini bisa mengalahkan segalanya, kompetensi, pengalaman, hingga logika publik.

Akibatnya, suasana di tubuh birokrasi pun seperti AC tua ,panas dingin tak menentu. Para pejabat lokal yang sudah berjibaku sejak kantor masih pakai tembok triplek dan printer bunyinya seperti mesin ketik, kini cuma bisa menghela napas dan menelan ludah karier mereka sendiri.

Mereka yang tahu betul mana jalur tikus dan mana lubang anggaran, harus mengalah pada sang pejabat baru yang bahkan belum hafal letak kamar mandi.

Kecemburuan? Jangan ditanya. Itu sudah jadi lauk harian di ruang-ruang staf. Tapi ini bukan sekadar soal iri hati. Ini adalah pengkhianatan terhadap meritokrasi, yang kini sudah dipreteli dan dijual kiloan di pasar politik.

Baca Juga:  Perlu segera dibenahi: SISTEM DRAINASE KOTA BANDARLAMPUNG

Ketika jabatan disulap menjadi hadiah ultah politik, maka yang dikorbankan bukan cuma ASN lokal, tapi juga rakyat yang cuma bisa menikmati pelayanan publik dengan rasa hambar, seperti kopi dinas yang kebanyakan air.

Lebih kocaknya lagi, pejabat model begini jarang punya akar. Mereka datang, duduk, selfie dengan baliho, lalu pindah saat angin kekuasaan berubah arah.

Mereka bukan hadir untuk membangun, tapi sekadar lewat untuk melunasi utang politik. Loyalitasnya bukan pada rakyat atau institusi, tapi pada siapa yang mengantar SK.

Kita boleh berdalih, “rotasi itu hak prerogatif pimpinan.” Ya, betul. Tapi kalau prerogatif tanpa integritas, hasilnya seperti mi instan tanpa bumbu, formalitas yang hambar.

Birokrasi bukan lagi mesin pelayanan, tapi panggung drama di mana peran utama ditentukan bukan oleh bakat, tapi oleh siapa yang paling rajin menjilat.

Sudah saatnya kita hentikan kebiasaan menanam titipan politik di pot-pot jabatan publik. Karena jabatan bukan bonsai ,tidak bisa tumbuh indah hanya karena dipangkas atas bawah, tapi harus ditumbuhkan dari akar kepercayaan publik.

Yang kita butuhkan bukan pejabat yang baru mendarat langsung menjabat. Tapi mereka yang tahu rasa lumpur di sepatu, tahu pahitnya keringat reformasi birokrasi, dan setia bukan pada elite, tapi pada warga yang capek antri hanya untuk selembar surat keterangan.

Wallahu a’lam bishawab.
Tabikpun.

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed