oleh

Cantik Tapi Bau

-Opini-521 views

Abung Mamasa

Pemred Harian Kandidat

Bandar Lampung terus mempercantik diri. Trotoar dipercantik, mural ditorehkan di dinding-dinding kota, dan jargon-jargon manis bertebaran.

Tapi di balik itu, ada kenyataan yang menampar, kota ini cantik tapi bau. Bukan sekadar metafora. Bau itu nyata, menyengat dari truk-truk sampah bocor, dari tumpukan sampah tak terangkut, dan dari TPA Bakung yang menyimpan luka panjang dan ironi yang kian menumpuk.

Setiap hari, menurut data dari Dinas Lingkungan Hidup, lebih dari 800 ton sampah dihasilkan di Bandar Lampung. Namun, hanya sebagian kecil yang benar-benar dikelola dengan baik. Sisanya? Dibuang begitu saja di TPA Bakung.

Tak ada proses pemilahan, tak ada daur ulang, apalagi teknologi pengolahan modern. Sistem yang digunakan masih open dumping, metode kuno yang sudah lama dilarang di banyak negara karena mencemari tanah dan air.

Masalah ini bukan barang baru. Tapi entah mengapa, dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya, sampah selalu didekati dengan cara yang sama,asal terangkut, asal dibuang.

Padahal, pola ini hanya menyembunyikan masalah di bawah tanah, bukan menyelesaikannya.

Puncak dari kelalaian ini terjadi pada 28 Desember 2024, saat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyegel TPA Bakung.

Menteri Siti Nurbaya menyebut ada pelanggaran berat, terutama pada pengelolaan air lindi dan sistem dumping yang tidak sesuai aturan. Penindakan ini merupakan tamparan keras bagi Pemerintah Kota.

Tapi segel itu ternyata hanya seremonial. Pada Februari 2025, aktivitas di TPA Bakung tetap berjalan seperti biasa. Truk-truk sampah masih lalu lalang keluar-masuk lokasi.

Tidak ada perbaikan signifikan yang terlihat. Warga sekitar masih mengeluh bau menyengat, pencemaran air sumur, dan lalat yang menginvasi rumah-rumah mereka.

Baca Juga:  Tentang Mens Rea Dalam Menentukan Tersangka Dalam Suatu Tindak Pidana

Apakah segel itu hanya untuk pencitraan sesaat? Atau hanya alat penekan agar pemerintah kota “berbenah” di atas kertas, bukan di lapangan?

Truck Sampah Uzur
Kondisi truk pengangkut sampah di Bandar Lampung juga tak kalah memprihatinkan. Dari 96 armada truk yang dimiliki DLH, banyak yang sudah uzur dan tidak layak jalan.

Kebanyakan tidak memiliki penutup yang rapat, sehingga air sampah (lindi) bocor sepanjang jalan. Bau menyengat menjadi teman setia warga di rute-rute angkut truk setiap pagi dan malam.

Warga Kelurahan Sukarame, misalnya, mengeluh setiap kali truk lewat. “Jangankan bersih, napas saja susah kalau lagi lewat,” ujar seorang warga yang rumahnya berada di pinggir jalan protokol.

Ironisnya, truk-truk ini masih digunakan tanpa rencana pembaruan armada yang jelas. Pemerintah kota terkesan pasrah, selama sampah terangkut, bau dan kebocoran dianggap risiko biasa.

Padahal, ini bukan hanya soal estetika, melainkan soal kesehatan dan martabat kota.

Pasca segel KLHK, Pemkot Bandar Lampung mengklaim telah mulai menerapkan sistem controlled landfill, semacam versi “lebih rapi” dari dumping.

Tapi laporan lapangan menunjukkan bahwa perubahan itu masih sebatas wacana dan formalitas. Tidak ada teknologi pengolahan seperti RDF (Refused Derived Fuel), tak ada pemilahan dari sumber, dan tak ada fasilitas komposting skala kota.

Dengan keterbatasan itu, reformasi yang dijanjikan hanya menjadi tambal sulam di permukaan. Bahkan pada 2025, laporan menunjukkan lebih dari 92% TPA di Provinsi Lampung masih tidak memenuhi standar pengelolaan yang layak. Bandar Lampung tak terkecuali.

Sementara itu, rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) terus dikumandangkan.

Tapi pertanyaannya, bagaimana bisa kita bermimpi mengelola sampah jadi energi, jika pemilahannya saja tak dilakukan, dan truknya saja bocor di jalan?
Semua kegagalan ini akhirnya bermuara pada penderitaan warga.

Baca Juga:  Sudahkah Kita Merdeka?

Bukan hanya warga sekitar TPA Bakung, tapi juga masyarakat kota yang setiap hari bersentuhan dengan tumpukan sampah di pasar, got yang tersumbat, dan udara yang makin pengap.

Di sisi lain, edukasi soal pemilahan sampah juga tidak menyentuh masyarakat secara serius. Tak heran, kesadaran publik pun rendah karena pemerintah tak memberi teladan.

Warga hanya dituntut untuk membayar retribusi sampah. Tapi tidak pernah benar-benar tahu ke mana sampah mereka dibawa, dan bagaimana akhirnya diperlakukan.

Bandar Lampung perlu berhenti menutupi bau dengan pewangi. Tidak bisa terus menyembunyikan persoalan lewat spanduk, mural, dan jargon.

Pengelolaan sampah harus dimulai dari keseriusan teknis: memperbarui armada, menata TPA dengan standar lingkungan, dan memberdayakan masyarakat lewat sistem bank sampah dan pemilahan dari sumber.

Jika tidak, kota ini akan terus “cantik tapi bau”. Indah dari luar, tapi membusuk dari dalam. Dan pada akhirnya, kita semua akan jadi korbannya.

DPRD Harus Tegas
Dalam pusaran masalah yang tak kunjung usai ini, DPRD Kota Bandar Lampung seharusnya berdiri sebagai benteng terakhir.

Namun selama ini, fungsi pengawasan lebih banyak terdengar dalam bentuk pernyataan di media daripada langkah konkret di lapangan.

Padahal, dengan kondisi seperti ini, DPRD tak cukup hanya “mendengar dan mencatat”, tapi harus bergerak, mendesak, dan menindak.

Harapan baru mulai terlihat ketika  tanggal 16-Juli -2025, sejumlah pimpinan DPRD melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke TPA Bakung. Aksi ini bukan sekadar kunjungan simbolis, tapi sekaligus bentuk pengakuan bahwa pengelolaan sampah memang bermasalah dan perlu intervensi serius.

Dalam sidak tersebut, para anggota dewan mencium langsung bau menyengat, menyaksikan tumpukan sampah tak tertata, dan menyaksikan bagaimana armada yang lalu-lalang masih menggunakan truk terbuka tanpa penutup.

Baca Juga:  LANGKAH KONSOLIDASI DEMOKRASI TELAH DIMULAI

Salah satu pimpinan DPRD bahkan menyebutkan bahwa kondisi di lapangan “jauh lebih buruk dari laporan resmi”. Sebuah pernyataan yang menyiratkan betapa selama ini data di atas kertas telah digunakan sebagai alat penenang, bukan sebagai dasar perbaikan.

Namun sidak hanyalah permulaan. Peran legislatif tidak boleh berhenti pada tahap kunjungan dan dokumentasi, tapi harus berlanjut dalam bentuk penganggaran yang berpihak,

evaluasi ketat terhadap kinerja Dinas Lingkungan Hidup, serta mendorong penyusunan peraturan daerah yang lebih progresif terkait pengelolaan sampah.

DPRD juga harus menuntut transparansi dalam setiap proyek terkait sampah, dari peremajaan armada, skema controlled landfill, hingga wacana pembangunan PLTSa.

Jika DPRD bersikap tegas, mereka bisa jadi pemantik perbaikan struktural. Tapi jika hanya ikut arus pencitraan dan duduk nyaman di ruang sidang ber-AC, maka rakyat hanya akan melihat mereka sebagai ornamen demokrasi cantik, tapi tak berguna. Sama seperti kota ini cantik tapi bau.

Akhir kata, tak ada kota yang sempurna. Tapi kota yang baik adalah kota yang mau jujur pada boroknya, dan mau bekerja keras menyembuhkannya.

Bandar Lampung sudah cukup lama pura-pura wangi di atas tumpukan busuk. Sekarang waktunya berhenti pakai parfum, dan mulai bersih-bersih sungguhan.

Wallahualam Bissawab

Tabik Pun

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed