oleh

Tak Cukup Hanya Menyala Kakak

-Opini-490 views

Dalam hiruk-pikuk euforia pasca pilihan kepala daerah, kita seringkali terbuai oleh semangat dan janji perubahan.

Kata-kata “Menyala” menjadi jargon dan makin populer. Tapi kini, kita harus bertanya dengan kepala dingin, menyala untuk siapa? Untuk rakyat atau untuk kroni-kroni dan relawan yang haus jatah?

Fenomena ini semakin nyata ketika seorang kepala daerah yang baru dilantik justru mulai dikepung oleh bisikan-bisikan sesat, relawan yang menuntut balas jasa.

Kerabat yang menginginkan posisi, tim sukses yang mendadak jadi makelar proyek, hingga orang-orang partai yang tiba-tiba merasa punya kuasa menentukan arah kebijakan.

Yang lebih berbahaya adalah ketika kepala daerah tidak cukup kuat secara integritas dan karakter untuk menolak tekanan-tekanan tersebut.

Maka mulailah satu per satu jabatan strategis diserahkan bukan kepada mereka yang layak, tapi kepada mereka yang dekat.

Rekrutmen birokrasi menjadi arena barter, bukan seleksi objektif. Daftar panjang ASN profesional yang telah mengabdi puluhan tahun terhempas hanya karena tak punya akses atau orang dalam.

Rudapaksa Meritokrasi

Saat kekuasaan dikelilingi oleh lingkaran kepentingan yang rakus, maka yang pertama kali dikorbankan adalah meritokrasi. Orang-orang dengan kompetensi mumpuni tersingkir, diganti dengan sosok-sosok “titipan” yang hanya bermodal kedekatan.

Maka, jabatan strategis diisi oleh mereka yang mungkin tak tahu apa-apa soal pemerintahan, tapi tahu betul siapa harus dijilat.

Inilah yang disebut sebagai rudapaksa meritokrasi , sebuah ironi demokrasi ketika keadilan dan profesionalisme diperkosa oleh relasi dan transaksi kekuasaan.

Dan dampaknya bukan hanya pada rusaknya sistem pemerintahan, tetapi juga pada hilangnya kepercayaan rakyat terhadap nilai demokrasi itu sendiri.

Sistem birokrasi bukan sekadar soal jabatan dan struktur, tapi soal keberlangsungan pelayanan publik yang adil dan profesional.

Baca Juga:  UU Cipta Kerja: Surga atau Fatamorgana?

Ketika jabatan diberikan bukan kepada yang layak, maka yang menderita bukan relawan yang tidak dapat posisi, tapi masyarakat yang berhak atas pelayanan yang baik dan program yang tepat sasaran.

Prof. Dr. Budi Santosa, Guru Besar Ilmu Politik UGM, pernah menegaskan,

“Kepala daerah yang tidak mampu menolak tekanan dari tim sukses atau relawan pasca-pemilihan cenderung akan membentuk sistem patron-klien yang koruptif. Ini merusak tatanan birokrasi profesional dan meruntuhkan kepercayaan publik.”

Dalam penelitiannya soal perilaku politik lokal, Prof. Budi bahkan menyebut bahwa relawan dalam demokrasi Indonesia kerap berubah dari pendukung ide menjadi pelaku transaksi.

Mereka menjelma seperti pelobi, menyodorkan nama, memaksa posisi, dan bahkan mengatur ritme anggaran, semua demi balas jasa.

Dr. Alissa Wahid, aktivis sosial dan psikolog, juga menyampaikan,

“Kepemimpinan yang sehat harus punya keberanian menolak loyalitas semu. Kepala daerah mesti punya integritas untuk berkata: ‘saya dipilih rakyat, bukan untuk jadi distributor kekuasaan bagi orang-orang dekat saya.'”

Hal yang disebut loyalitas semu ini tampak manis di awal, namun mengandung racun dalam jangka panjang.

Kepala daerah yang tak mampu membedakan dukungan dengan desakan, akan terus menjadi boneka yang dikendalikan para penumpang gelap kekuasaan.

Dr. Roby Nurhadi, akademisi dari Universitas Andalas, menambahkan,

“Ketika relawan berubah menjadi pemburu rente, maka kepala daerah perlu menutup telinga dan membuka mata pada fakta-fakta objektif.

Meritokrasi bukanlah pilihan, tapi keharusan dalam tata kelola pemerintahan yang efektif.”

Lebih lanjut, Dr. Roby menyebut bahwa kepala daerah harus membangun pagar etika yang jelas sejak hari pertama menjabat. Menolak titipan bukanlah pengkhianatan, justru bentuk keberanian menyelamatkan integritas demokrasi.

Menyala Saja Tidak Cukup

Baca Juga:  Pun Edward, Kandidat Gubernur Lampung

Menyalanya semangat rakyat adalah harapan. Tapi menyalanya lingkaran kekuasaan yang oportunis adalah ancaman.

Maka kepala daerah harus cerdas memilih, menjadi pemimpin yang bijak dan tegas, atau hanya menjadi pemegang korek api, yang membakar harapan rakyat demi kenyamanan orang-orang dekatnya.

Pemimpin yang baik tidak tunduk pada tekanan transaksional. Ia berdiri di atas nilai, bukan negosiasi. Ia berani bilang TIDAK  pada titipan jabatan, dan YA pada profesionalisme.

Rakyat tidak butuh pemimpin yang hanya bisa menyala di spanduk dan baliho.
Yang dibutuhkan adalah pemimpin yang menyala di hati rakyat, dan padamkan kepentingan pribadi.

Karena dalam ujung kekuasaan, bukan hanya laporan yang akan diminta, tapi juga pertanggungjawaban,di dunia, dan kelak di hadapan Tuhan.

Menjadi kepala daerah adalah amanah, bukan arena balas jasa. Relawan boleh berbangga pernah ikut berjuang, tapi mereka harus tahu batas.

Sebaliknya, kepala daerah harus mampu berkata cukup, bukan siap, saya atur.

Karena yang benar tak selalu populer, dan yang populer tak selalu benar.

Wallahuallam Bissawab,Tabikpun

Oleh : Abung Mamasa

Pemimpin Redaksi Harian Kandidat

 

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed