oleh

Cadang Wayah

-Opini-485 views

Dalam kebudayaan Lampung, istilah “Cadang Wayah” bukan sekadar ungkapan sehari-hari.

Ia mengandung makna mendalam yakni kelakuan yang rusak, menyimpang dari nilai-nilai mulia, dan menjadi sumber masalah.

Dan kini, istilah ini tampaknya menemukan ruang paling nyata dalam dunia politik lokal, khususnya pada fenomena pasca kemenangan kepala daerah.

Ketika pesta demokrasi usai, euforia kemenangan seringkali membutakan realitas.

Kepala daerah yang baru menjabat disambut gegap gempita oleh tim sukses, relawan militan, kerabat dekat, dan partai pendukung.

Mereka mengklaim berjasa dan merasa memiliki hak istimewa atas hasil kemenangan.

Maka dimulailah apa yang oleh banyak tokoh bangsa disebut sebagai penyimpangan setelah kemenangan sebuah fase di mana niat baik pemimpin diuji oleh tuntutan loyalis dan lingkaran dalam.

Alih-alih menjadi pengawal amanah rakyat, relawan dan orang dekat justru kerap menjadi beban moral dan ancaman etika.

Mereka berlomba-lomba mengisi posisi, mendorong titipan, menjual kedekatan, dan mengkavling proyek.

Kepala daerah didorong untuk lebih mendengar suara bisikan sempit ketimbang suara rakyat.

Di sinilah Cadang Wayah mengambil bentuk paling parah yaitu kelakuan rusak yang menyaru dalam jubah loyalitas.

Presiden ke-4 Republik Indonesia Abdurrahman Wahid yang karib disapa Gus Dur pernah mengingatkan dalam banyak ceramahnya.

“Pemimpin itu tidak boleh hanya dikelilingi orang yang setuju saja. Kalau cuma mendengar yang memuji, itu bukan pemimpin, tapi raja kecil.”

Peringatan mantan Ketua PBNU menampar realitas hari ini. Banyak kepala daerah yang secara tak sadar berubah menjadi Raja kecil karena hanya dikelilingi relawan pemuja yang membisiki kebijakan, bukan demi rakyat, tapi demi proyek dan posisi.

Bahkan Buya Syafii Maarif, tokoh moral bangsa, juga mengkritik keras mentalitas feodal dalam birokrasi,

Baca Juga:  Ganjar-Mahfud Menang Satu Putaran

“Selama pemimpin lebih percaya pada orang dekat ketimbang sistem, maka birokrasi akan tetap busuk. Ini bukan soal loyalitas, tapi soal merit dan profesionalisme.”

Ketika kepala daerah lebih mengutamakan loyalis dari pada profesional, yang terjadi adalah pelemahan kelembagaan.

Seorang pejabat diangkat bukan karena kapasitas, tapi karena siapa yang membawanya.

Ini bukan hanya menyimpang, tapi mencederai prinsip dasar dalam pemerintahan yang sehat.

Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, seorang cendekiawan Muslim, pernah berkata:
“Pemimpin yang lemah integritasnya akan selalu tergantung pada lingkaran dekat.

Ia mudah diatur, dan akhirnya justru menjadi boneka yang menggadaikan tanggung jawab.”

Lingkaran kekuasaan, jika tidak dikendalikan, bisa menjadi jebakan sistemik. Mereka akan mengatur ritme kekuasaan, menyusun agenda, bahkan mengatur siapa yang boleh dan tidak boleh bertemu kepala daerah.

Sudah banyak kasus kepala daerah yang tersandung hukum karena ulah lingkarannya sendiri.

Mulai dari skandal jual beli jabatan, proyek siluman, hingga peran orang dekat dalam penempatan direksi BUMD atau kepala dinas titipan.

Sayangnya, ketika kasus mencuat, orang-orang ini biasanya menghilang seperti kabut pagi meninggalkan pemimpin sendirian menghadapi badai.

Di beberapa daerah, bahkan muncul istilah baru yakni Tim Makan Siang (TMS) sekelompok loyalis yang setiap hari nongkrong di kantor kepala daerah, mengatur tamu, menjual akses, dan menyodorkan proposal proyek atas nama perjuangan.

Kepala daerah yang tak tegas akan terjebak dan akhirnya membiarkan praktik Cadang Wayah ini berlangsung terus-menerus.

Menjadi pemimpin itu bukan hanya soal menang, tapi soal menjaga kepercayaan. Seperti pesan Haji Agus Salim yang legendaris.

“Kejujuran dan keberanian moral lebih penting dari kepandaian teknis dalam memimpin bangsa.”

Dalam konteks lokal, keberanian untuk menolak titipan, membersihkan lingkaran rusak, dan mendengarkan kritik jujur jauh lebih penting daripada menjaga perasaan relawan atau kerabat.

Baca Juga:  Kepulangan Rizieq dan Kekalahan Trump

Kepala daerah yang benar-benar mencintai rakyatnya harus berani berkata “tidak” pada siapapun yang menyimpang.

Harus berani membuka ruang bagi kritik, mendengar suara-suara minor, dan menempatkan orang berdasarkan kompetensi, integritas, dan rekam jejak.

Bukan berdasarkan siapa yang dulu ikut berpeluh dalam kampanye.

Lawan Cadang Wayah,Jaga Amanah

Sejarah politik lokal di Indonesia menunjukkan bahwa rusaknya pemimpin bukan karena musuh di luar, tapi karena bisikan di dalam.

Jangan biarkan niat baik dikubur oleh kompromi kepada lingkaran sempit. Jangan biarkan kekuasaan yang diperoleh dengan susah payah jatuh karena kelakuan Cadang Wayah orang-orang yang merasa berjasa.

Karena pada akhirnya, rakyat tidak akan mengingat berapa banyak relawan yang menangis saat kampanye ,tapi mereka akan mencatat seberapa banyak kebijakan baik yang benar-benar dirasakan.

Dan semoga wabah Cadang Wayah tidak Terjadi di Lampung.

Wallahualam Bissawab, Tabikpun Mahhap Ngalimpuro

Oleh : Abung Mamasa

Pemimpin Redaksi Harian Kandidat

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed