oleh

BUMD Bukan Hadiah Hiburan

-Opini-115 views

Pasca pilkada, sejumlah daerah di Indonesia kembali memamerkan satu pola klasik yang tak pernah benar-benar hilang, ya rebutan kursi.

Bedanya, kali ini bukan kursi DPRD atau jabatan kepala dinas yang jadi incaran utama, melainkan kursi empuk direktur Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Fenomena ini sudah seperti ritual lima tahunan, begitu kepala daerah baru terpilih, maka kursi-kursi di BUMD tiba-tiba menjadi komoditas politik yang panas, bahkan lebih panas dari harga cabai rawit menjelang Lebaran.

Relawan yang merasa paling berjasa selama kampanye berlomba-lomba mengincar posisi strategis di BUMD.

Mereka datang dengan keyakinan setebal baja, membawa modal “keringat perjuangan” sebagai tiket masuk, seolah jabatan publik adalah hadiah lomba panjat pinang.

Tak peduli apakah rekam jejaknya buruk, pernah gagal memimpin lembaga yang sama, atau bahkan namanya pernah terseret pusaran kasus korupsi,yang penting ada kedekatan emosional atau politik dengan kepala daerah.

BUMD yang seharusnya menjadi mesin penggerak ekonomi daerah dan penyumbang signifikan bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) justru berisiko berubah menjadi ladang bancakan, tempat orang-orang membayar janji politik atau mencari nafkah instan.

BUMD sejatinya menjadi mesin penghasil Pendapatan Asli Daerah kini justru menjelma ATM politik. Para relawan pengangguran memandangnya sebagai “uang pensiun dini” atas jasa mereka memegang spanduk, ikut konvoi, dan mengibarkan bendera saat pilkada.

Ada yang bahkan terang-terangan mengaku sudah “booking” kursi direktur jauh sebelum surat keputusan dibacakan, seolah BUMD itu warisan keluarga yang tinggal menunggu pembagian sertifikat.

“Fenomena ini adalah rudapaksa meritokrasi secara terang-terangan,” ujar Dr. Raden Mahesa Santika, pakar politik publik dari Universitas Nusantara Timur. Menurutnya, relawan yang menuntut jabatan dengan dalih jasa kampanye telah menggeser logika demokrasi.

Baca Juga:  Gouverneur van de Lampongsche Districten

“Demokrasi bukan barter. BUMD bukan hadiah hiburan. Tapi yang kita lihat sekarang, justru mekanisme seleksi profesional tersingkir oleh perhitungan ‘siapa yang paling berjasa’ menurut versi politik.”

Fenomena ini menempatkan kepala daerah dalam posisi sulit. Kepala daerah yang pada awal masa jabatan berkomitmen membangun pemerintahan bersih dan profesional, perlahan tergoda atau bahkan terpaksa memberi ruang bagi relawan demi menjaga harmoni politik.

Padahal, dalam banyak kasus, harmoni semacam ini hanya bersifat sementara dan justru membahayakan kinerja pemerintahan dalam jangka panjang.

Prof. Lintang Wardoyo dari Universitas Andalas Jakarta mengibaratkan, “Kepala daerah yang terlalu sering mengalah demi relawan itu seperti orang yang sedang diet, tapi setiap hari dipaksa makan rendang dan gulai kambing oleh tetangga.

Awalnya menolak, tapi lama-lama menyerah, dan akhirnya kolesterolnya sendiri yang membunuh.”

Di tengah persaingan ini, para profesional dengan kapasitas mumpuni justru tersingkir. Mereka yang punya rekam jejak bersih dan gagasan inovatif untuk memajukan BUMD kalah oleh kekuatan jaringan pertemanan, kedekatan pribadi, dan hutang budi politik. BUMD pun terancam kehilangan orientasi bisnis dan berubah menjadi posisi parkir untuk relawan pengangguran.

Dr. Surya Darmanto dari Universitas Maritim Jawa Raya memberikan analogi getir, “BUMD di tangan orang yang salah itu seperti kapal nelayan yang dikemudikan tukang pijat refleksi.

Pijitannya mantap, suaranya keras, tapi arah kapalnya? Entah ke mana. Dan yang paling menderita adalah penumpang, dalam hal ini rakyat.”

Fenomena ini bukan sekadar masalah internal daerah. Dampaknya bisa meluas hingga memengaruhi stabilitas fiskal dan reputasi pemerintahan daerah di mata investor.

Investor, baik lokal maupun asing, tentu enggan menanam modal di wilayah yang BUMD-nya dikelola oleh orang tanpa kompetensi, apalagi yang terlibat dalam praktik-praktik koruptif.

Baca Juga:  Mencermati 100 Hari Kerja Gubernur Lampung: Adakah Harapan Baru untuk Rakyat Lampung ?

Kepala daerah yang bijak seharusnya memiliki keberanian untuk memutus tali rasa tidak enak hati. Memimpin berarti mengambil keputusan yang tepat, bukan sekadar menyenangkan semua pihak.

Memang, risiko politiknya ada,relawan bisa kecewa, dukungan politik bisa tergerus.

Namun, risiko jangka panjang dari penempatan orang yang salah jauh lebih besar: kerugian finansial, rusaknya tata kelola, hingga hilangnya kepercayaan publik.

BUMD bukanlah warisan keluarga, bukan pula lumbung pribadi yang bisa dibagi-bagi. Ia adalah institusi publik yang mengelola dana dan aset daerah, yang keberhasilannya atau kegagalannya akan berdampak langsung pada rakyat.

Jika BUMD hanya diperlakukan sebagai “hadiah pasca pilkada”, maka lima tahun ke depan kita akan melihat lebih banyak BUMD mati suri,dan rakyatlah yang akan menanggung bebannya.

Di tengah semua ironi ini, istilah BUMD tampaknya mulai bergeser makna: dari “Badan Usaha Milik Daerah” menjadi “Badan Urusan Makan Duit”.

Sebuah cermin buram politik lokal, di mana janji kampanye dibayar dengan kursi jabatan, dan meritokrasi dikubur hidup-hidup di bawah meja rapat.

Wallahualam Bissawab, Tabik Mahhapun Ngalimpuro

 

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed