oleh

Sudahkah Kita Merdeka?

-Opini-524 views

Hari ini, 17 Agustus 2025, kita merayakan 80 tahun kemerdekaan Indonesia. Tema yang diusung tahun ini adalah “Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju.”

Namun di balik semarak upacara, parade budaya, dan kibaran bendera, pertanyaan mendasar harus kita ajukan,benarkah kita sudah benar-benar merdeka?.

Jika merdeka dimaknai sebatas bebas dari penjajahan asing, tentu jawabannya sudah. Tetapi jika merdeka dimaknai sebagai kedaulatan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka jawabannya masih jauh panggang dari api.

Kepemimpinan yang Tersandera
Di banyak daerah, kita menyaksikan fenomena yang mengkhawatirkan. Kepala daerah yang dipilih melalui mekanisme demokrasi sering kali tidak benar-benar berdiri di atas kepentingan rakyat.

Setelah dilantik, banyak di antara mereka justru sibuk memenuhi janji politik kepada partai, relawan, dan orang dekat yang mendukung kampanye mereka.

Maka tidak heran jika keputusan strategis di daerah lebih banyak lahir dari “bisikan dalam” ketimbang jeritan rakyat.

Relawan mendesak jabatan di BUMD, orang dekat mengatur jatah proyek, Relawan menjadi makelar jabatan, sementara rakyat kecil masih bergulat dengan persoalan banjir, harga kebutuhan pokok, pendidikan yang mahal, dan layanan kesehatan yang lamban.

Inilah bentuk penjajahan baru, penjajahan yang dilakukan oleh elit lokal kepada rakyatnya sendiri.

Seakan-akan kursi kepala daerah bukanlah amanah, melainkan “kursi hutang piutang politik” yang harus segera dilunasi.
Fenomena ini sesungguhnya sudah diingatkan oleh para tokoh bangsa terdahulu.

Bung Karno pernah menegaskan, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”

Kalimat itu kini terasa nyata. Kita merdeka dari Belanda dan Jepang, tetapi belum merdeka dari praktik kekuasaan yang dikuasai kepentingan segelintir orang.

Bung Hatta, proklamator yang dikenal sederhana, pernah berkata: “Demokrasi bukanlah jalan untuk membagi-bagi kekuasaan, tetapi untuk membagi keadilan.”

Baca Juga:  Gouverneur van de Lampongsche Districten

Ironisnya, demokrasi di tingkat daerah hari ini justru menjelma menjadi arena bagi-bagi kekuasaan.

Keadilan bagi rakyat tersisih, digantikan kepentingan elitis yang rakus.

Sementara itu, Ki Hajar Dewantara mengajarkan prinsip kepemimpinan “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.”

Tetapi apa yang kita lihat? Banyak kepala daerah tidak lagi menjadi teladan di depan, tidak lagi menumbuhkan semangat di tengah, bahkan tak kuasa memberi dorongan dari belakang.

Mereka sibuk dengan transaksi politik yang justru membuat rakyat kehilangan arah.

Kemerdekaan yang sejati mestinya tidak diukur dari panjangnya usia proklamasi atau sukses nya menggelar upacara hari kemerdekaan.

Ia harus diukur dari seberapa besar pemimpin daerah berani berdiri di atas kepentingan rakyat, bukan kepentingan kelompok atau kepentingan orang dekat.

Kemerdekaan 2025 harus menjadi momentum bagi kepala daerah untuk merdeka dari jeratan politik transaksional.

Relawan tidak boleh terus-menerus menjadi “makelar jabatan.” Partai tidak boleh selalu menuntut balas budi berupa proyek dan kursi empuk.

Orang dekat tidak boleh menjadi poros keputusan yang menyingkirkan suara rakyat.

Sejarah mencatat, bangsa ini lahir dari pengorbanan luar biasa. Para pendiri bangsa menukar darah dan nyawa demi sebuah negeri yang berdaulat.

Maka adalah pengkhianatan sejarah jika hari ini kepala daerah justru merendahkan nilai kemerdekaan dengan menjadikan jabatan sebagai komoditas politik.

Hari ini kita mengucapkan kata “Merdeka!” dengan lantang. Namun, apakah rakyat di daerah juga merasakan merdeka? Jawabannya tergantung pada keberanian kepala daerah untuk benar-benar berpihak kepada rakyat.

Kepemimpinan yang sejati bukanlah kepemimpinan yang sibuk melayani lingkaran dekat, melainkan kepemimpinan yang berani mengambil keputusan meski tidak populer di kalangan partai atau relawan, asalkan keputusan itu berpihak kepada rakyat.

Baca Juga:  Mencermati 100 Hari Kerja Gubernur Lampung: Adakah Harapan Baru untuk Rakyat Lampung ?

Merdeka yang sejati adalah ketika kepala daerah tidak lagi menjadi tawanan kepentingan sempit, tetapi menjadi pemimpin yang berpijak pada cita-cita kemerdekaan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Merdeka!

Wallahualam Bissawab, Tabik Mahappun Ngalimpuro.
Oleh : Abung Mamasa
Pemimpin Redaksi Harian Kandidat

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed