Oleh: Abung Mamasa
Pemimpin Redaksi Harian Kandidat
Dalam demokrasi modern, transparansi dan keterbukaan informasi publik bukan sekadar jargon, melainkan fondasi kepercayaan antara negara dan warganya.
Di tingkat daerah, kehadiran Komisi Informasi (KI) dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) menjadi instrumen penting untuk menjaga hak publik atas informasi dan memastikan arus penyiaran berjalan sehat.
Namun, di Provinsi Lampung, fondasi itu tengah diguncang. Pemerintah daerah melalui Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik (Diskominfotik) menunda rekrutmen anggota KI dan KPID dengan dalih “efisiensi anggaran” serta alasan administratif.
Dalih ini segera menimbulkan tanda tanya: apakah benar ini soal keuangan semata, atau ada motif lebih dalam yang berhubungan dengan melemahnya komitmen transparansi?
Lembaga Pengawas yang Kosong
Masa jabatan KPID Lampung sejatinya telah berakhir pada 2023, sementara KI Lampung berakhir Februari 2024. Tetapi hingga kini, wajah baru belum juga hadir.
Yang terjadi justru sebaliknya: para komisioner lama, seperti Ketua KI Erizal bersama Syamsurrizal, Dery Hendryan, dan Ahmad Alwi Siregar, masih bertahan di kursi jabatan dan tetap menerima hak keuangan.
Praktik ini menimbulkan problem hukum sekaligus etika. Ahadi Fajrin Prasetya, Dekan Fakultas Hukum UTB Lampung, menegaskan bahwa pejabat yang masa jabatannya habis tidak lagi berhak atas gaji.
Dengan kata lain, setiap rupiah yang dikeluarkan untuk mereka rawan dikategorikan sebagai belanja tak sah.
Di titik inilah, publik mulai melihat kontradiksi. Pemerintah daerah menyebut alasan anggaran sebagai penyebab penundaan rekrutmen, tetapi pada saat yang sama anggaran untuk menggaji komisioner yang “kadaluarsa” tetap mengalir. Efisiensi yang dikumandangkan akhirnya terdengar seperti retorika kosong.
Risiko di Balik Kekosongan
Penundaan ini tidak sekadar soal administrasi. Kekosongan KI dan KPID berarti terhentinya fungsi pengawasan publik. Sengketa informasi yang seharusnya segera diselesaikan berlarut-larut.
Konten penyiaran televisi dan radio berjalan tanpa pengendalian yang memadai, membuka peluang disinformasi, bahkan manipulasi narasi publik.
Lebih jauh lagi, kredibilitas pemerintah daerah ikut dipertaruhkan. Bagaimana mungkin pemerintah berbicara tentang good governance dan keterbukaan, jika justru membiarkan lembaga pengawas transparansi “mati suri”?
Motif yang Patut Dicurigai
Sulit untuk menampik kecurigaan bahwa penundaan ini bukan sekadar perkara anggaran. Ada dugaan motif politis: dengan membiarkan KI dan KPID vakum, pemerintah daerah memperoleh ruang lebih luas untuk mengendalikan arus informasi tanpa mekanisme checks and balances.
Apalagi, kisah birokrasi Lampung tak pernah steril dari konflik internal. Kepala Diskominfotik, Ganjar Jationo, berkilah bahwa ia belum sepenuhnya dilantik sehingga enggan mengambil langkah rekrutmen.
Publik tentu berhak bertanya: apakah ini benar kendala administratif, atau dalih birokratis yang sengaja dipelihara?
Kekhawatiran ini semakin nyata ketika perhatian Diskominfotik justru lebih banyak diarahkan pada sinergi dengan asosiasi media untuk “membangun narasi positif” pemerintah. Tugas pengawasan, yang seharusnya menjadi inti, justru terpinggirkan.
Jalan Keluar yang Mendesak
Kebuntuan ini tidak boleh dibiarkan berlarut. Ada sejumlah langkah yang patut segera ditempuh:
1. DPRD Provinsi Lampung harus menggunakan fungsi pengawasan anggaran dan, bila perlu, hak interpelasi untuk memaksa Diskominfotik segera membuka rekrutmen KI dan KPID.
2. Audit keuangan perlu dilakukan, baik oleh Inspektorat Provinsi maupun BPK, untuk menelusuri pembayaran gaji komisioner yang masa jabatannya telah berakhir.
3. Kementerian Kominfo wajib turun tangan apabila pemerintah daerah terbukti abai. Kekosongan lembaga pengawas tidak boleh menjadi celah melemahnya literasi digital masyarakat.
4. Transparansi rekrutmen menjadi keharusan: terbuka, akuntabel, dan memastikan calon komisioner dipilih berdasarkan integritas serta kompetensi.
Mengembalikan Kepercayaan Publik
Demokrasi daerah tak akan sehat tanpa transparansi. Menunda rekrutmen KI dan KPID dengan alasan yang rapuh sama saja dengan meruntuhkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Di era keterbukaan informasi, praktik seperti ini bukan hanya kemunduran, tetapi ancaman nyata bagi kualitas demokrasi lokal.
Lampung, dengan segala potensinya, layak dipimpin oleh tata kelola yang terbuka dan akuntabel. Menunda, mengulur, atau mengaburkan proses hanya akan memperburuk citra pemerintah dan menegaskan bahwa transparansi belum menjadi prioritas.
Kini, bola ada di tangan pemerintah provinsi. Apakah alasan efisiensi ini sungguh demi rakyat, atau sekadar pengaburan demi kepentingan lain? Publik tentu berhak menuntut jawaban yang jujur.
Sumber Data:
* trabas.co – Tunda Pemilihan KI dan KPID, Pemprov Lampung Dinilai Blunder
* hariankandidat.co.id – Soal KI-KPID, Diskominfotik “Pura-pura Gila”
* kpi.go.id – KPI Harap Rekrutmen KPID Tak Lagi Tertunda
Komentar