Desa Mambu Ketek adalah sebidang tanah hijau yang wangi lada, harum kopi, dan keras singkong. Jika pagi tiba, asap dapur dari tungku kayu bergulung seperti doa yang terbakar pelan-pelan, naik ke langit, dan jatuh lagi ke kebun.
Anak-anak berlarian di jalan tanah, sambil melempar biji singkong kering seakan-akan itu kelereng surga. Dan di surau kecil yang catnya mulai mengelupas, Kades muda yang sholeh kerap membetulkan sarungnya lebih rapi daripada membetulkan politik desanya.
Sekdes, lelaki kalem, seperti bayangan di belakang lampu minyak, ada, tetapi jarang berbicara. Orang bilang, kalau ia jalan sore-sore, ayam pun tak merasa terganggu.
Tenang, lembut, seolah Tuhan sengaja menciptakannya hanya untuk menjadi “pendingin ruangan” dalam rapat desa yang biasanya panas.
Dahulu, Desa Mambu Ketek pernah terkenal karena tiga hal yakni lada yang pedas, kopi yang pahit, dan singkong yang keras kepala. Tetapi kini ada tambahan, politik desa yang lebih ribet dari anyaman tikar pandan.
Lalu muncullah Ganjar Dosomuko.Badannya agak besar, kulitnya hitam seperti kopi robusta yang terlalu lama disangrai. Ia punya kebiasaan mengusap-usap batu akik di jarinya, seakan dari batu itu keluar wahyu tata kelola desa.
Dahulu, Ganjar dianggap semacam pelipur lara setelah warga lama dipusingkan oleh Asep Kenyot, mantan hansip yang keras kepalanya mengalahkan batok kelapa kering.
Asep Kenyot berjalan seperti barisan upacara, dan memimpin rapat desa seperti komandan memimpin senam barbel. Ia dijuluki warga sebagai ABCD ( Abri Bukan Cepak Dangdut)
Maka, ketika Ganjar datang dengan wajah ramah, suara merendah, dan sikap supel bak MC hajatan yang selalu tersenyum walau mic mendecit, warga pun jatuh hati.
“Inilah orang penerangan sejati,” kata tokoh-tokoh yang mulutnya masih wangi sisa kunyahan sirih. Ganjar seperti lampu neon baru yang membuat kampung merasa terang.
Namun, seperti lampu neon murahan, terang Ganjar hanya sebentar sebelum mulai berkelip-kelip.
Beberapa bulan setelah ia duduk manis di kursi Kepala Penerangan, keluwesannya berubah jadi kibaran bendera ego.
Ia mulai menata-nata perangkat desa seperti menyusun batu akik koleksinya, yang berkilau ia taruh di depan, yang kusam dilempar ke pojok.
Siapa saja yang tak sesuai selera, seolah langsung dipindahkan ke kotak kardus “barang bekas”.
Ganjar Dosomuko kini bukan lagi sosok supel. Ia jadi semacam sutradara bayangan yang senang mengatur posisi para aktor desa.
Kepala desa muda yang sholeh tetap diam, hanya mengelus tasbih dan membiarkan waktunya larut dalam doa.
Sekdes yang kalem tetap seperti embun di ujung daun, dingin, bening, tetapi tidak pernah berteriak. Maka panggung pun dikuasai Ganjar.
Penduduk mulai muak. Mereka dulu bersorak, kini mencibir. Mereka dulu mengusulkan, kini menyesal.
Ganjar bukan lagi wajah penerangan, ia jadi semacam lampu bohlam 5 watt di ruang tamu yang tak mau diganti meski sudah gosong, karena pemilik rumah merasa sayang.
Warga mulai gelisah. Mereka merasa dibohongi oleh citra manis yang ternyata hanya pemanis buatan, indah di awal, bikin sakit perut di belakang.
Ganjar dianggap kurang ajar, cari muka, bahkan lebih berbahaya daripada Asep Kenyot yang jelas-jelas kaku. Asep setidaknya tegas, sedangkan Ganjar licin seperti belut di kolam keruh, susah ditangkap, tapi bikin lumpur semakin kental.
Desa Mambu Ketek pun jadi cermin politik kita, ketika pemimpin diam, birokrat kalem tak bersuara, maka panggung dikuasai oleh orang yang berisik, haus sorotan, dan gila kendali.
Desa Mambu Ketek mendidih dalam rasa jengkel. Warganya yang terbiasa menanam lada, menjemur singkong, dan meneguk kopi pahit, kini punya satu hobi baru yakni bergunjing soal Ganjar.
Di beranda rumah, di pojok surau, bahkan di bawah pohon jengkol, nama Ganjar diulang-ulang dengan nada getir bercampur geli.
“Aduh, dulu manis sekali, sekarang kayak kopi basi,” kata seorang ibu, sambil menumbuk singkong.
“Dulu luwes, sekarang seperti karet gelang kebanyakan dipakai jadi melebar tak karuan,” sambung yang lain, sambil menjemur biji lada.
Dan Ganjar Dosomuko, dengan batu akik di jarinya yang terus ia elus-elus, tetap berjalan ke balai desa dengan langkah yang dibuat penuh percaya diri.
Seolah-olah seluruh kebun lada, singkong, dan kopi di Mambu Ketek adalah bagian dari cincin batu akiknya.
Desa Mambu Ketek pun menjadi panggung satir. Kades muda yang sholeh hanya tersenyum simpul, seakan yakin bahwa doa lebih kuat dari intrik.
Sekdes kalem tetap tak banyak kata, hanya sesekali menatap jendela, melihat pohon singkong bergoyang tertiup angin.
Sementara itu, Ganjar Dosomuko terus mengatur, terus menata, hingga perlahan orang sadar, penerangan yang terlalu banyak campur tangan, justru bisa membuat desa terasa lebih gelap dari sebelumnya.








Komentar