oleh

Pagar Ayu Politik

-Opini-249 views

Balai Keratun, 27 Agustus 2025. Bunga-bunga mekar di podium, doa khidmat mengudara, spanduk pembangunan berjejer penuh janji.

Di tengah seremoni, Nanda Indira Bastian berdiri anggun, mengucapkan sumpah jabatan sebagai Bupati Pesawaran, Dilantik langsung Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal.

Kamera berkilat, tepuk tangan membahana, seolah pesta demokrasi benar-benar berlangsung meriah.

Tetapi rakyat Pesawaran tahu, pesta itu tak lebih dari panggung sandiwara. Karena hanya delapan hari kemudian, sang suami,

Dendi Ramadhona, Bupati dua periode dipanggil Kejati Lampung, diperiksa terkait dugaan korupsi proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) 2022 senilai Rp 8 miliar.

Program yang seharusnya mengalirkan air bersih ke desa, justru diduga mengalirkan uang ke kantong gelap. Ironinya jelas, istri dilantik, suami dilantak.

Boneka di Depan Panggung

Pertanyaan yang menggantung di udara kini sederhana, apakah Nanda adalah pemimpin sejati, atau sekadar boneka cantik yang dipajang di depan panggung?

Para akademisi sudah lama mengingatkan. Akademisi Universitas Gajag Mada (UGM), Prof. Ari Dwipayana menegaskan bahwa politik dinasti merusak meritokrasi, pemimpin dipilih bukan karena kapasitas, melainkan karena nama keluarga.

Sedangkan akademisi Universitas Indonesia (UI), Dr. Chusnul Mar’iyah  bahkan lebih telak, perempuan dalam dinasti kerap dijadikan “pagar ayu politik”, indah di mata, tapi lumpuh di ruang kuasa.

Itulah risiko terbesar Pesawaran, seorang bupati yang secara simbolik berkuasa, tapi sejatinya hanya mengikuti skenario lama yang ditulis di meja makan keluarga.

Dalang di Balik Tirai

Mari kita jujur. Dendi bukan orang asing bagi birokrasi Pesawaran. Selama sepuluh tahun ia berkuasa, ia menanam kroni di hampir semua posisi penting. Kepala dinas, kontraktor, hingga pejabat desa pernah merasakan orbit pengaruhnya.

Dalang tidak butuh kursi, tidak butuh panggung, tidak butuh mikrofon. Dalang hanya butuh benang. Dan boneka hanya bisa bergerak sesuai tarikan benang itu.

Baca Juga:  Injak Rem Pak Gubernur!

Maka publik Pesawaran bertanya getir:

  • Apakah Nanda berani mencopot pejabat warisan suaminya?
  • Apakah ia berani mengaudit ulang proyek yang dulu digagas Dendi?
  • Apakah ia berani membuka daftar kontraktor yang selama ini mengisi kantong politik keluarga?

Jika tidak, maka jelas, yang jadi bupati bukanlah Nanda, melainkan Dendi melalui tubuh Nanda.

Demokrasi Diperkosa, Rakyat Jadi Korban

Politik dinasti bukan hanya soal siapa duduk di kursi bupati. Ia adalah soal rakyat yang jadi korban permainan keluarga.

Air bersih tak mengalir, tapi air mata rakyat tumpah. Jalan tetap bolong, sekolah tetap miskin fasilitas, puskesmas tetap sekarat. Sementara keluarga politik sibuk menukar peran, hari ini suami, besok istri, lusa mungkin anak.

Akademisi menyebut fenomena ini sebagai “rudapaksa meritokrasi” yakni sistem yang seharusnya membuka ruang bagi putra-putri terbaik, diperkosa oleh ambisi keluarga.

Tantangan untuk Nanda

Jika Nanda ingin membuktikan bahwa dirinya bukan boneka, ia hanya punya satu pilihan yaitu memutus benang dalang. Itu berarti:

  • Berani membuka kotak hitam peninggalan suami.
  • Berani mengaudit proyek SPAM yang menyeret nama Dendi.
  • Berani mengangkat pejabat berdasarkan kompetensi, bukan loyalitas keluarga.
  • Berani membiarkan hukum bekerja tanpa intervensi rumah tangga.

Tanpa itu, Pesawaran hanya akan terus jadi sirkus politik, rakyat dipaksa menonton boneka tersenyum di panggung, sementara dalang lama tetap menarik benang dari balik layar.

Rakyat Tidak Butuh Boneka

Sejarah sudah mencatat:

  • 27 Agustus 2025: istri dilantik di podium.
  • 4 September 2025: suami dilantak di ruang penyidik.

Pertanyaannya kini, apakah Nanda benar-benar memimpin Pesawaran, atau sekadar menjadi wayang golek, sementara dalang lama tetap mengendalikan lakon?

Tulisan ini tegas menyatakan rakyat Pesawaran tidak butuh boneka, betapapun anggun dipoles. Mereka butuh pemimpin sejati yang berani memotong benang dalang.

Baca Juga:  Pengawasan Partisipatif : Upaya Efektif Mengatasi Pelanggaran Dan Politik Uang Dalam Pemilihan Umum

Jika tidak, Pesawaran hanya akan dikenang dengan satu kalimat muram yaitu
“Bupati berganti, tapi dalang tetap sama.”

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed