oleh

Kepala Daerah “Bodo Amat”

-Opini-447 views

Di balik kemenangan politik, selalu ada konsekuensi yang tak pernah ditulis dalam baliho kampanye, tekanan orang dekat, bisikan tim sukses, lingkaran setan relawan, hingga mafia proyek yang menuntut balas jasa.

Inilah wajah dari politik lokal kita, ketika kepala daerah yang baru saja dilantik tiba-tiba diseret menjadi sandera politik orang-orang yang dulu mengangkatnya ke panggung.

Di ruang-ruang sempit, sering terdengar kalimat menyesakkan seperti “Pak, ini titipan tim sukses.” Atau “Bu, ini jatah relawan.” Bahkan lebih jauh yakni “Dirut BUMD jangan lupa untuk orang kita.”

Semua bisikan ini bukan sekadar permintaan, tapi instrumen tekanan. Jika kepala daerah tunduk, pemerintahan berubah menjadi pasar gelap,  jabatan diperjualbelikan, proyek diborongkan, meritokrasi diperkosa.

Jika kepala daerah melawan, konflik internal pecah, loyalitas dipertanyakan.

Maka diperlukan sikap radikal yiatu“bodo amat”.

“Bodo amat” bukan berarti kepala daerah abai terhadap aspirasi rakyat. Sebaliknya, ia berarti berani menutup telinga dari racun lingkaran kekuasaan yang ingin mengubah birokrasi menjadi ATM kelompok.

Ia berarti berdiri tegak di atas prinsip meritokrasi, menjaga integritas ASN, dan memastikan jabatan hanya diberikan kepada mereka yang pantas, bukan mereka yang paling keras membisik.

Meritokrasi yang Diperkosa

Di Universitas Indonesia, akademisi ilmu administrasi publik sudah lama memberi peringatan. Eko Prasojo, Guru Besar Ilmu Administrasi UI, menegaskan bahwa meritokrasi adalah benteng terakhir birokrasi.

Jika Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dilemahkan atau bahkan dihapus, jual-beli jabatan akan makin marak.

Ia menyebutnya sebagai “jalan pintas menuju politisasi birokrasi”  sebuah bencana bagi pelayanan publik.

Sementara Muhamad Iman Alfie Syarien, Sekretaris Departemen Ilmu Administrasi Negara UI, mengingatkan bahwa meritokrasi hanya bisa hidup jika ada pengawasan independen.

Baca Juga:  Jagoan Neon

Tanpa itu, birokrasi akan tersandera kepentingan politik sesaat. Hasilnya jelas, pejabat dipilih bukan karena kemampuan, melainkan karena siapa yang lebih dekat dengan bupati atau wali kota bahkan Gubernur.

Pendapat akademisi ini bukan sekadar wacana, tapi cermin. Kita menyaksikan sendiri bagaimana di daerah, jabatan eselon diperlakukan seperti kue ulang tahun yang dipotong-potong.

Setiap potong ada pemiliknya, tim sukses, kerabat, partai, atau orang dekat. Inilah yang disebut publik dengan istilah tajam, “rudapaksa meritokrasi”.

Bisikan yang Menyesatkan

Dari perspektif agama, praktik ini bukan saja mencederai birokrasi, tapi juga mengkhianati amanah rakyat.

Ulama menegaskan, pemimpin adalah pelayan umat, bukan pelayan lingkaran dekatnya.

Dalam banyak pengajian, sering diingatkan bahwa jabatan adalah amanah, bukan hadiah.

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”

Maka, ketika kepala daerah lebih mendengar bisikan kerabat daripada suara rakyat, ia sesungguhnya sedang berjalan di jalan kesesatan.

Ulama menegaskan bahwa keberanian berkata “tidak” kepada lingkaran dekat adalah jihad kepemimpinan.

Teladan Nabi

Nabi Muhammad SAW memberikan contoh paling nyata. Saat memimpin Madinah, beliau disodorkan banyak godaan untuk memberi keistimewaan pada kerabat atau sahabat dekatnya.

Namun beliau menolak. Jabatan dan amanah tidak pernah diperlakukan sebagai warisan keluarga atau hadiah politik.

Abu Bakar As-Shiddiq, sahabat sekaligus penerus beliau, bahkan mengingatkan rakyat di awal kepemimpinannya.

“Jika aku benar, dukunglah aku. Jika aku salah, luruskan aku.” Itu adalah kontrak sosial paling jujur dalam sejarah kepemimpinan Islam.

Umar bin Khattab, khalifah kedua, pernah menolak keras ketika keluarganya ingin menikmati fasilitas negara. Ia berkata yaitu “Cukup bagi keluargaku mendapatkan kemuliaan karena aku khalifah. Tidak ada jatah istimewa bagi mereka.”

Baca Juga:  Ketua PWI Jangan Jadi Centeng-Jongos

Kepala daerah di Indonesia mestinya belajar dari teladan itu dengan tidak memeberi ruang bagi nepotisme, tidak ada ruang bagi balas jasa politik.

 “Bodo Amat” sebagai Keberanian Moral

Mari kita tegaskan, Kepala daerah harus berani “bodo amat” terhadap tekanan relawan, tim sukses, atau kerabat yang haus jabatan.

Birokrasi harus dijaga dengan meritokrasi, bukan dihancurkan oleh politik balas jasa.

Ulama harus terus mengingatkan bahwa kepemimpinan adalah amanah, bukan bancakan.

Rakyat harus kritis, tidak sekadar mengawasi kinerja kepala daerah, tetapi juga mengawasi siapa yang membisikkan kebijakan di telinganya.

“Bodo amat” bukan sikap dingin, melainkan keberanian untuk menjaga kemurnian amanah.

Jika kepala daerah gagal menjaga ini, maka ia hanya akan menjadi dalang dari panggung boneka yang dimainkan oleh relawan, kerabat, dan tim sukses.

Namun jika ia berhasil, ia akan dikenang bukan sebagai politisi biasa, melainkan sebagai negarawan.

Sejarah hanya akan mencatat dua jenis kepala daerah,  mereka yang bertekuk lutut pada bisikan sesat, dan mereka yang berani berkata “bodo amat” demi rakyat.

Wallahualam bishawab, Tabikpun Mahhap Ngalimpuro

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed