oleh

Andai Bima Tidak Pulang

-Opini-278 views

Oleh Isbedy Stiawan ZS

ANDAI Bima tidak pulang karena merasa terancam lalu menetap di Australia, siapakah yang rugi?

Bima saya andaikan adalah seorang yang tak bisa diam menyaksikan pembangunan di daerahnya yang dinilai gagal. Maka ia bersuara; ia kritik pemangku kebijakan. Dalam hal ini sang gubernur. Ia pun dibully, keluarganya didatangi. Kata Bima dalam tiktoknya: dipersekusi.

Ternyata di era kiwari ini, kritik masih dianggap tabu. Pemimpin seakan berada di jalur benar, tidak boleh dikritik, dan sejenisnya. Rakyat “ditabukan” mengkritik. Yang berani, alamat terancam.

Jauh sebelum Bima, dalam kesenian Rendra terancam hidupnya semasa rezim Soeharto, begitu pula Widji Thukul yang berakhir tragis; hilang tak jelas.

Lalu, saya teringat kisah Omar Kayam (?), begawan yang filsuf. Semasa ia hidup, kerap mengkritik penguasa. Lalu ia diopsi oleh raja; menjadi abdi atau diusir keluar dari wilayah sang penguasa.

Omar santai menjawab; kalau menjadi abdi di istana, alangkah banyak bisa didapat. Artinya tidak harus seorang Omar Kayam. Apalagi jika ia menjadi abdi istana, apakah ia masih diberi kebebasan untuk mengkritik kebijakan raja yang salah?

Untuk opsi kedua, jika ia diusir (atau katakanlah dimatikan), Omar Kayam berujar; kerajaan akan merugi karena 100 tahun kemudian tidak akan lagi mendapati orang semirip Omar Kayam. Artinya sulit menemukan atau mendapati orang yang berani mengkritik penguasa.

Bima adalah serupa begawan itu, artinya yang berani mengkritik ketidakmajuan pembangunan di daerahnya. Sepantas kritikan tersebut diapresiasi baik. Sebagai kritik yang positif. Bukan malah dipersekusi, intimidasi, apatah lagi diancam.

Bima jelas pintar. Kalau tak pandai, sulit rasanya diterima menjadi mahasiswa di Australia. Bima juga berani, kalau tidak mana mungkin ia layangkan kritiknya itu. Di media sosial lagi.

Baca Juga:  Obral Gelar Honoris Causa, Moralitas Kampus Terancam Runtuh

Andai Bima (benar-benar) tidak pulang (ke Lampung), seluruh warga Lampung yang merugi. Alasannya sederhana saja, orang sepintar Bima tak diberi ruang beraktivitas di tanah kelahirannya ini.

Masih ingatkan B.J. Habibie, teknokrat yang studi di Jerman untuk bidang pesawat? Ia diminta langsung Soeharto agar pulang dan mengabdi pada bangsa, yakni Indonesia. Kalau penghasilan yang harus diterima Habibie, jelas tak sebanding pendapatannya kalau tetap di Jerman.

Tetapi, panggilan negara telah mengalahkan segalanya. Habibie pulang. Dan kedirgantaraan di Indonesia pun berjaya.

Begitu pula kita harapkan Bima bisa pulang. Ia bisa mengabdi bagi (kemajuan) Lampung, kelak setelah ia selesaikan studinya.

Kita– yang berpikiran positif dan futuristik — tak menghendaki Bima tidak pulang. Sebaliknya, kita buka lebar pintu bandara, pelabuhan, stasiun, ataupun terminal untuk kedatangannya ke tanah kelahiran: Sang Bumi Ruwa Jurai ini.

Lampung bukan milik seseorang atau sekelompok. Bukan pula milik seorang penguasa atau kolega penguasa. Lampung terbuka bagi masyarakat yang ingin berjuang demi kemajuannya di segala lini. Jadikan kritik Bima sebagai pelajaran berharga untuk berbenah lebih baik.

Untuk Lampung tercinta, setiap individu punya cara buat memajukannya. Salam.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed