oleh

Kembalinya Para Pejuang Hijau: Renaisans Penyuluhan Pertanian Indonesia

-Opini-573 views

 

_Dari Keajaiban 1984 hingga Revolusi Digital 2025_

Dalam sebuah foto hitam-putih tahun 1985, Presiden Soeharto terlihat menerima penghargaan dari Food and Agriculture Organization (FAO) atas pencapaian swasembada beras Indonesia.

Di balik momen bersejarah itu, ada ribuan pahlawan tak terlihat: penyuluh pertanian yang berjalan kaki dari desa ke desa, membawa tas penuh benih unggul dan harapan baru.

Empat dekade kemudian, Indonesia kembali bermimpi tentang kedaulatan pangan. Kali ini, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto yang dengan lantang menyatakan:
_”Beberapa negara minta agar kita kirim beras ke mereka… kita buktikan bangsa Indonesia sekarang menjadi bangsa bukan bangsa yang minta-minta, tapi bangsa yang bisa membantu dan memberi bangsa lain.”_

Pertanyaannya sederhana: bisakah Indonesia mengulangi keajaiban itu?

DNA Transformasi Pertanian

Revolusi Hijau India, yang dipimpin oleh ilmuwan pertanian M.S. Swaminathan sejak tahun 1960-an, mengubah negara itu dari negara yang kekurangan pangan menjadi salah satu negara pertanian terkemuka di dunia antara tahun 1967-1978.

Yang menarik, keberhasilan India tidak hanya bergantung pada benih unggul atau pupuk modern, tetapi pada sistem penyuluhan yang masif dan terorganisir.

Punjab, yang hanya menempati 2% luas daratan India, muncul sebagai salah satu negara bagian terkaya berkat fondasi penelitian dan penyuluhan pertanian yang solid serta struktur kredit koperasi yang kuat untuk populasinya. Ini membuktikan satu hal: transformasi pertanian membutuhkan ujung tombak yang kuat di lapangan.

Begitu pula dengan Indonesia pada era 1980-an. Keberhasilan swasembada beras bukan sekadar soal teknologi, melainkan tentang bagaimana pengetahuan itu sampai ke tangan petani melalui penyuluh yang hidup dan bekerja bersama mereka.

Masalah Fragmentasi

Namun, seiring dengan otonomi daerah, peran penyuluh terfragmentasi. Mereka tersebar di berbagai instansi daerah dengan koordinasi yang lemah, visi yang berbeda-beda, dan tujuan yang tidak selalu sejalan dengan strategi nasional.

Baca Juga:  Saatnya Rakyat Memilih dengan Damai

Akibatnya, Indonesia yang pernah menjadi eksportir beras, kini masih bergantung pada impor untuk komoditas strategis seperti kedelai dan jagung.

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengakui fakta ini dengan jujur:
_”Tanpa PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan), tidak mungkin kita mencapai lompatan seperti yang terjadi hari ini.”_

Pernyataan ini disampaikannya saat membuka Koordinasi Nasional Penyuluh, sebuah sinyal bahwa pemerintah menyadari betapa vitalnya peran mereka.

Sentralisasi Besar-Besaran

Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2025 bukanlah sekadar kebijakan administratif—ini adalah revolusi dalam tata kelola penyuluhan pertanian Indonesia.

Dengan menarik kembali sekitar 37.000 penyuluh ASN dari pemerintah daerah ke Kementerian Pertanian dalam waktu satu tahun, Prabowo mengirimkan pesan yang jelas: era fragmentasi telah berakhir.

“Agar penyuluh bergerak dalam satu irama dan satu komando,” demikian penjelasan staf khusus menteri. Target optimalisasi penuh pada 2026 menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mengembalikan peran strategis penyuluh sebagai agen perubahan.

Langkah ini mengingatkan pada strategi negara-negara yang sukses dalam transformasi pertanian. Layanan penyuluhan dan penasehatan memainkan peran penting dalam transformasi pertanian dan dapat membantu petani dengan saran dan informasi, menjadi perantara dan memfasilitasi inovasi serta hubungan, dan menangani risiko dan bencana.

Pejuang Digital Era Baru

Berbeda dengan era 1980-an, penyuluh hari ini menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks. Perubahan iklim, degradasi lahan, ketergantungan impor, dan tuntutan produksi yang berkelanjutan memerlukan pendekatan yang lebih canggih.

Di sinilah peran teknologi digital menjadi krusial. Penyuluh modern tidak hanya membawa tas berisi benih, tetapi juga smartphone dengan aplikasi yang bisa memberikan prakiraan cuaca real-time, analisis tanah, dan rekomendasi pemupukan yang tepat sasaran.

Program Gerakan Indonesia Menanam (Gerina) yang diluncurkan di Banyuasin menjadi bukti nyata bagaimana pemerintahan Prabowo mengintegrasikan pendekatan tradisional dengan inovasi modern.

Baca Juga:  Catatan Pinggir: Menggali Kuburnya Sendiri (1)

Digital farming, pencetakan sawah baru, dan pembangunan rantai nilai pertanian—semuanya memerlukan penyuluh yang tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga mampu beradaptasi dengan perubahan zaman.

Pelajaran dari Kisah Sukses Global

Layanan informasi dapat secara substansial meningkatkan produktivitas dan profitabilitas petani kecil selama kriteria tertentu dipenuhi. Kriteria itu mencakup aksesibilitas, relevansi, dan keberlanjutan—tiga hal yang hanya bisa dipenuhi melalui sistem penyuluhan yang terorganisir dengan baik.

India membuktikannya melalui Revolusi Hijau. China melakukannya dengan Sistem Penyuluhan Teknologi Pertanian yang masif. Brasil mencapainya lewat EMATER (Technical Assistance and Rural Extension Enterprise) yang menggabungkan penelitian, penyuluhan, dan layanan kredit dalam satu sistem terintegrasi.

Sekarang giliran Indonesia untuk menulis ulang kisah suksesnya.

Visi 2045

Cita-cita Indonesia Emas 2045 dalam bidang pangan bukanlah sekadar retorika politik. Dengan lahan pertanian yang masih luas, sumber daya air yang melimpah, dan teknologi yang semakin maju, Indonesia memiliki semua prasyarat untuk menjadi lumbung pangan dunia.

Yang dibutuhkan adalah eksekusi yang tepat. Dan eksekusi itu dimulai dari penguatan peran penyuluh sebagai ujung tombak transformasi pertanian.

Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2025 bukan sekadar tentang sentralisasi administratif—ini tentang membangun kembali “modal sosial” yang pernah membuat Indonesia berhasil mencapai swasembada beras. Modal sosial yang terbangun dari kepercayaan petani terhadap penyuluh, dari transfer pengetahuan yang efektif, dan dari semangat gotong royong menuju kedaulatan pangan.

Para Pejuang Kembali

Pada 1984, dunia menyaksikan keajaiban Indonesia. Pada 2025, Indonesia memulai babak baru untuk menciptakan keajaiban yang lebih besar. Penyuluh pertanian—para pejuang hijau yang pernah membawa Indonesia meraih swasembada—kembali dipanggil untuk bertugas.

Kali ini, mereka tidak sendirian. Mereka didukung teknologi digital, riset modern, dan—yang terpenting—political will yang kuat dari pimpinan tertinggi negara.

Baca Juga:  Spekulasi Cerita Fiksi 

-“Kita pernah bisa. Kita pasti bisa lagi.”_ Bukan sekadar optimisme kosong, tetapi keyakinan yang dibangun atas fondasi sejarah, strategi yang jelas, dan komitmen yang tak tergoyahkan.

Para pejuang hijau telah kembali. Saatnya mereka menulis sejarah baru.

*Mahendra Utama Pemerhati Pembangunan

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed