Pagi dan cuaca dingin mulai merayap di kantin Dek Yanti, tapi obrolan Din Bacut dan kawan-kawannya malah makin panas, seperti kopi yang lupa dimatikan kompornya.
Asap rokok kretek tanpa cukai Sudir Pekok bercampur dengan aroma ampas kopi, menciptakan kabut tebal yang seolah menyembunyikan rahasia-rahasia busuk Badar Lepung.
Parno Bojoloro, yang tadi nyeletuk soal calo surga, sekarang duduk lebih dekat, matanya menyipit seperti detektif kampung yang lagi mengintai maling.
“Eh, Din Bacut, lo belum cerita yang paling gobloknya,” kata Parno, menyodorkan rokoknya ke Din. “Bantuan gedung Kejaksaan itu, yang katanya ‘investasi masa depan’, tapi bagi rakyat, itu kebijakan paling dungu yang pernah dilahirkan Walikota Epah Dewiyana.
Bayangin, kota lagi megap-megap kayak ikan koi kehabisan air, APBD jebol kayak banjir got, tapi masih aja ngasih bantuan puluhan miliar buat gedung mewah yang nggak ada urgensinya.
Apa gunanya gedung kinclong kalau rakyatnya masih sengsara, coba lihat sendiri mobil truk sampah kota itu, masih juga gaya-gayaan bantu kejaksaan? Ini bukan kepemimpinan, ini kegilaan level dewa!”
Din Bacut mengembuskan asap rokoknya panjang, seperti sedang mengusir setan korupsi.
“Betul, Parno! Kebijakan goblok itu lolos mulus karena disetujui sama jongos-jongos walikota di Gedung Dewan. Puluhan anggota dewan itu kayak zombie terpesona, matanya hijau dolar, hati mereka sudah dijual ke Epah Dewiyana.
Mereka nggak mikir rakyat, cuma mikir jatah. ‘Ya, walikota bilang bagus, pasti bagus!’ kata mereka, sambil ngiler nunggu amplop.
Kayak anjing peliharaan yang lupa gigit tangan tuannya. Dewan kita bukan wakil rakyat, tapi wakil dompet walikota.
Mereka terpesona kayak kena hipnotis, atau mungkin kena santet umroh gratis.
Hasilnya? Gedung Kejaksaan jadi prioritas, sementara jalanan bolong, sekolah roboh, dan rumah sakit kekurangan obat.
Kebijakan paling goblok sepanjang sejarah Badar Lepung, dan mereka tepuk tangan seperti monyet di sirkus!”
Rini Esboncel, yang masih ngunyah sisa pisang goreng, ikut nimbrung dengan tawa nyelekit.
“Hahaha, jongos walikota! Bener banget, Bacut. Mereka kayak budak cinta, terpesona sama senyum palsu Walikota Epah. Tapi yang paling brengsek, itu bandit APBD di Dewan.
Ketua Dewan Si Buritnas Yunirata dan koleganya, Anggota dewan keturunan Arab Nengdi, Romey Alhusaini Dua bandit dari Partai Burung Terbang yang sayapnya penuh duit haram.
Buritnas sebagai ketua, Romey sebagai koleganya yang licik, mereka berdua kayak duo maling profesional.
Nggak cuma calo umroh, mereka kelola travel umroh khusus dari Dewan dan Pemkot! Bayangin, tiket suci ke Tanah Haram dijual kayak tiket bioskop murahan.
‘Mau umroh? Bayar dulu ke rekening kami,’ kata mereka sambil senyum manis. Umroh yang seharusnya ibadah, malah jadi bisnis haram halal.
Dan yang lebih gila, hampir semua proyek pengadaan di DPRD dikuasai duo bandit ini. Kursi mewah, komputer baru, bahkan kertas toilet DPRD, semuanya lewat tangan Buritnas dan Romey.
Mereka potong jatah, sisip setoran, dan sisanya buat beli mobil mewah. APBD kota kayak dompet mereka sendiri, dibongkar pasang seenak jidat!”
Sudir Pekok, yang biasanya pendiam, tiba-tiba meledak. “Astagfirullah, bandit APBD! Buritnas dan Romey itu kayak ular kobra berdua, saling lindung. Mereka kelola travel umroh itu bukan buat amal, tapi buat cuci duit. Tiket umroh dijual ke kroni, sisanya buat bancakan.
Dan proyek pengadaan? Haha, jangan harap ada tender adil. Semua dimonopoli, harga digelembungin, kualitas sampah.
Gedung Kejaksaan itu cuma alasan buat mereka nyedot lebih banyak duit. Walikota Epah kasih lampu hijau, jongos-jongosnya tepuk tangan, dan bandit ini pesta pora.
Kota ini lagi sekarat, tapi mereka masih gaya-gayaan umroh berkali-kali, sambil bilang ‘Ini buat doa rakyat’. Doa apa? Doa biar rakyat tambah miskin?”
Dek Yanti, yang lagi nyuci gelas, geleng-geleng kepala sambil nyengir sinis.
“Minum lagi, Sudir. Daripada muntah darah liat bandit-bandit itu. Buritnas dan Romey, duo calo surga, mereka pikir APBD itu warisan bapaknya.
Proyek pengadaan dikuasai, travel umroh moncer, dan kebijakan goblok walikota lolos begitu aja. Jongos-jongos di Gedung dewan terpesona, rakyat cuma bisa gigit jari.
Badar Lepung ini bukan kota, tapi kandang bandit!”
Kantin kembali riuh dengan tawa getir, umpatan pelan, dan hantaman meja. Di luar, angin malam membawa hawa dingin, tapi di dalam, api sindiran Din dan kawan-kawannya membara.
Mereka tahu, besok pagi korupsi akan terus berlanjut, tapi setidaknya malam ini, mereka bisa menertawakan para bandit itu, sambil menyesap kopi hitam.
Karena di Badar Lepung, satire adalah senjata terakhir rakyat, sebelum semuanya benar-benar jebol seperti APBD yang mereka rampok.
Komentar