Kantin Dek Yanti pagi itu bukan lagi sekadar warung kopi, tapi sudah menjelma jadi “paripurna tandingan”.
Kopi Slemon mengepul, gorengan hangus disajikan, dan obrolan Din Bacut cs lebih pedas dari sambal ulek Dek Yanti.
“Din, kau dengar kabar terbaru? Banyak rekanan proyek belum dibayar sama pemkot. Anak-anak jalanan masih ngais sisa makanan di lampu merah. Tapi apa yang jadi prioritas wali kota? Gedung kejaksaan baru! Hahaha…,” Rudi Semetok tertawa getir.
Din Bacut menatap gelas kopinya yang tinggal ampas. “Inilah kebijakan paling dungu, Rud. Rakyat kelaparan, rekanan megap-megap karena tagihan nggak cair. Anak-anak kecil tiap sore kehausan minta recehan di perempatan.
Tapi wali kota kita lebih bangga kasih hibah puluhan miliar ke kejaksaan dalam dua tahun. Katanya demi penegakan hukum. Padahal yang ditegakkan cuma gedung, bukan keadilan.”
Sudir Pekok mendengus sambil menyalakan rokok murahan. “Kota ini sudah gila, Din.
Gedung kejaksaan dibagusin, sementara rakyat makin kurus. Mau pakai dalih apa pun, ini jelas salah urus. Kalau hukum bisa dibeli dengan hibah, ya rakyat kecil cuma jadi penonton.”
Dek Yanti, sambil menuang kuah bakso, ikut nyeletuk, “Aku tiap hari lihat bocah-bocah kecil tidur di emperan toko. Tapi pemkot malah pamer bangunan megah.
Kalau begini terus, anak jalanan itu jangan-jangan nanti disuruh jaga pintu kejaksaan biar kelihatan ada ‘fungsi sosial’.”
Rudi Semetok menepuk meja. “Iya! Rekanan nunggu pembayaran proyek kayak orang nunggu jodoh. Duit miliaran nyangkut, tapi malah dipamerin bantuan buat lembaga yang jelas-jelas punya anggaran sendiri dari pusat.”
Din Bacut berdiri, wajahnya merah, suara lantang bagai orator lapangan. “Kawan-kawan, dengar ini, kota ini sedang dipimpin bukan dengan nurani, tapi dengan gengsi.
Kebijakan bukan lagi soal rakyat, tapi soal siapa yang bisa dipamerkan. Maka lahirlah kebijakan paling dungu. Bayar utang ke rekanan nggak, urus anak jalanan nggak, truck sampah juga rongsokan, tapi hibah gelondongan jalan terus.”
Ia berhenti sebentar, lalu menatap teman-temannya dengan sorot mata tajam. “Dan jangan lupa, DPRD pun sama dungunya! Fungsi pengawasan mereka sudah lemah syahwat.
Bukan karena tak tahu, tapi karena sudah ada kesepakatan di bawah tangan dengan wali kota. Mereka pura-pura ribut di ruang sidang, padahal di belakang panggung sudah sepakat, duit rakyat bisa dibagi rata asal semua diam. Inilah sandiwara parlemen kota!”
Sudir Pekok terbahak. “Pantesan kemarin ada pimpinan dewan yang kena semprot, eh malah senyum-senyum manja. Rupanya sudah ada jatah tersendiri.”
Dek Yanti menimpali dengan getir, “Kalau gini terus, bukan cuma wali kota yang dungu, dewan juga sama dungu. Bedanya, yang satu pakai lipstik, yang satunya pakai dasi.”
Hening sejenak. Hanya terdengar ceret kopi Slemon mendidih dan suara sendok beradu di gelas.
Din Bacut menutup pidatonya dengan kalimat penuh sarkas, “Kalau kota ini terus dipimpin wali kota dungu dan diawasi dewan dungu, jangan salahkan rakyat kalau suatu hari nanti paripurna lebih dipercaya di kantin Dek Yanti daripada di gedung DPRD.”
Semua terdiam, lalu tertawa getir.
Malam makin pekat, tapi kegelapan itu serasa lebih jujur daripada cahaya lampu kota yang dibangun dengan kebijakan paling dungu.
Komentar