oleh

Menelusuri Akar Korupsi Sang Bumi Ruwa Jurai

-Opini-17 views

 

Penulis
Prof. Dr. Hamzah, S.H., M.H. PIA.
Guru Besar Ilmu Hukum FH Unila

Menyingkap anatomi korupsi di Lampung adalah langkah awal yang menyakitkan namun perlu untuk melakukan penyembuhan birokrasi. Sejarah mencatat rentetan kasus yang menjerat para pengambil kebijakan, memberikan kita pelajaran berharga tentang pentingnya transparansi dan pengawasan masyarakat sipil yang tak boleh kendur.

Lampung, dengan kekayaan alam dan letak strategisnya sebagai gerbang Sumatera, seharusnya menjadi mercusuar kesejahteraan. Namun, struktur kekuasaan yang mengakar kuat seringkali menciptakan celah bagi praktik rente. Membedah anatomi korupsi di sini berarti memahami bagaimana loyalitas politik seringkali lebih berharga daripada integritas publik.

Memperbincangkan anatomi korupsi di Provinsi Lampung bukan sekadar membedah angka-angka kerugian negara, melainkan menelusuri jaringan syaraf yang menghubungkan kekuasaan, modal, dan kebijakan. Di balik gemerlap pembangunan Bumi Ruwa Jurai, terselip pola-pola sistemis yang membuat praktik lancung seolah menjadi ‘tradisi’ yang sulit diputus.

Catatan tahun 2025 membuktikan bahwa tidak ada level pemerintahan yang steril di Sang Bumi Ruwa Jurai. Korupsi terjadi secara vertikal dan sistemik. Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK menjaring Bupati Lampung Tengah, Ardito Wijaya. Motifnya sangat klise namun miris yaitu menggunakan uang suap proyek lebih dari Rp5,7 miliar untuk menutupi utang kampanye (biaya politik).

Lampung memiliki rekam jejak kelam sebagai salah satu provinsi dengan jumlah kepala daerah terbanyak yang ditindak KPK. Modus operandi mereka seragam mulai suap proyek (fee ijon) dan gratifikasi. Deretan Kepala Daerah yang Terjerat, di Lampung mulai dari Wendi Welfa eks Bupati Lampung Selatan yang terlilit korupsi pengadaan lahan PLTU Sebalang. Mustafa (Lampung Tengah) dan Zainudin Hasan (Lampung Selatan) Suap infrastruktur dan pengadaan jasa, lalu Agung Ilmu Mangkunegara (Lampung Utara) Suap Dinas PUPR, Khamami (Mesuji), Bambang Kurniawan (Tanggamus), Satono (Lampung Timur): Korupsi APBD, meninggal dunia setelah buron 10 tahun, Andi Ahmad Sampoerna Jaya, Dawam Raharjo (Lampung Timur) Masuk dalam catatan pemeriksaan terkait kasus terbaru) Kasus Kakap 2023-2025.

Baca Juga:  KONI Lampung, PON XX Papua dan Dugaan Korupsi Yang Prematur

Pemberantasan korupsi tidak berhenti, namun modus pelaku kian canggih. Dalam skandal Participating Interest (2025) Kejati Lampung menetapkan 3 tersangka (Direksi & Komisaris PT LEB) atas dugaan penyelewengan dana bagi hasil migas senilai US$ 17,2 Juta. Dana daerah disulap menjadi bonus dan dividen ilegal.

Korupsi Bendungan Marga Tiga (2024). Polda Lampung mengungkap korupsi pembebasan lahan proyek strategis nasional dengan kerugian negara Rp43,33 Miliar, melibatkan oknum BPN. Juga ada suap penerimaan mahasiswa Unila. Kasus Rektor Karomani (vonis 10 tahun) membuka mata publik bahwa jual-beli kursi pendidikan tinggi adalah nyata. Dan banyak lagi pejabat setingkat kepala dinas, sekda, hingga kabid di daerah yang terjerat korupsi.

Lampung, sebuah provinsi dengan semboyan Sang Bumi Ruwa Jurai—satu bumi yang didiami oleh dua jurai (masyarakat adat Saibatin dan Pepadun)—seharusnya menjadi simbol harmoni dan integritas. Namun, dalam satu dekade terakhir, wajah Lampung kerap kali dihiasi oleh berita duka tentang korupsi yang melibatkan elit politik dan birokrasi. Untuk memahami mengapa korupsi seolah menjadi penyakit menahun, kita perlu membedah “anatomi” masalah ini dari dua sudut pandang: Penyimpangan Terhadap Nilai Adat Dan Pelanggaran Hukum Nasional.

Pengkhianatan terhadap “Piil Pesenggiri”

Dalam masyarakat Lampung, terdapat filosofi hidup yang disebut Piil Pesenggiri. Ini adalah kristalisasi moral yang seharusnya menjadi benteng terhadap perilaku koruptif. Namun, korupsi terjadi ketika nilai-nilai ini disalahartikan atau dilanggar:

Penyimpangan Juluk Adek: Gelar adat (Adek) seharusnya mencerminkan kehormatan dan tanggung jawab. Korupsi muncul ketika jabatan publik hanya dianggap sebagai “gelar” untuk meraih status sosial (prestise) tanpa memikirkan amanah bagi rakyat.
Salah Kaprah Nemui Nyimah: Secara adat, Nemui Nyimah berarti kemurahan hati dan keramahan dalam menyambut tamu. Dalam anatomi korupsi, nilai luhur ini sering dipelintir menjadi justifikasi “gratifikasi” atau “uang pelicin” dengan dalih menjaga silaturahmi.
Runtuhnya Sakai Sambayan: Nilai gotong royong ini seharusnya untuk membangun daerah. Dalam praktik korupsi, yang terjadi justru “gotong royong” dalam kejahatan (korupsi berjamaah) antara oknum pejabat dan pengusaha.

Baca Juga:  Anah Kidah, Gubernur Dikirim Surat 'Cinta'

Korupsi di Lampung bukan sekadar pencurian uang negara, melainkan penghinaan terhadap kehormatan leluhur. Seorang pemimpin yang korupsi kehilangan Piil-nya, yang secara moral menjadikannya “asing” di tanahnya sendiri.

Lemahnya Pengawasan dan Politik Transaksional.

Lingkaran Setan Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ), yang dalam Kasus-kasus yang ditangani penegak hukum di Lampung didominasi oleh suap dalam proyek infrastruktur. Fenomena “setoran proyek” menjadi rahasia umum, di mana pemenang tender sudah ditentukan sebelum lelang dimulai dengan imbalan persentase tertentu (fee).
Politik Dinasti dan Cost Politics, pada kasus yang banyak terjadi adalah Tingginya biaya politik dalam Pilkada memicu pejabat terpilih untuk melakukan “pengembalian modal”. Hal ini menciptakan sistem patronase, di mana jabatan birokrasi diberikan bukan berdasarkan kompetensi (merit system), melainkan loyalitas politik atau hubungan kekeluargaan.
Lemahnya Fungsi “Check and Balances”, hal ini juga terdeteksi bahwa secara hukum, DPRD dan Inspektorat memiliki peran pengawasan. Namun, anatomi korupsi di Lampung menunjukkan adanya kolusi sistemis di mana lembaga pengawas justru sering kali menjadi bagian dari mufakat jahat tersebut.

Kemiskinan di Tengah Kelimpahan

Secara sosiologis, korupsi di Lampung berdampak langsung pada dua hal, yaitu:
Infrastruktur yang Rapuh: Anggaran yang disunat mengakibatkan kualitas jalan dan jembatan jauh di bawah standar, menghambat urat nadi ekonomi petani misalnya.
Ketimpangan Sosial: Kekayaan terkonsentrasi pada segelintir elit, sementara angka kemiskinan di beberapa kabupaten masih sulit ditekan merupakan contoh lainnya.

Mengembalikan Marwah Lampung

Memutus rantai korupsi di Lampung tidak cukup hanya dengan penangkapan oleh KPK atau Kejaksaan (pendekatan represif). Perlu ada revolusi kebudayaan untuk mengembalikan makna asli dari Piil Pesenggiri.

Hukum nasional harus ditegakkan tanpa pandang bulu, namun sanksi sosial berdasarkan hukum adat juga perlu dihidupkan kembali. Seorang koruptor tidak hanya harus dipenjara, tetapi juga harus merasa malu secara adat karena telah mengotori kemuliaan Sang Bumi Ruwa Jurai… Wallahhuallambissawab…

Baca Juga:  Bahasa Cerminan Jiwa

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed