oleh

Menuju Revolusi Kebudayaan Anti-korupsi

-Opini-18 views

Penulis

Prof. Dr. Hamzah, S.H., M.H. PIA.

Guru Besar Ilmu Hukum FH Unila

 

Radin Intan II bertanya kepada ibunya “Induk, api ubat malu?” Jawab emaknya “Mati anakku”

Korupsi di Lampung bukan sekadar persoalan teknis birokrasi, melainkan manifestasi dari krisis identitas yang mendalam. Ketika jabatan publik dianggap sebagai “harta jarahan” dan kekuasaan dipandang sebagai alat pemuas syahwat materi, di situlah nilai-nilai luhur kemanusiaan kita runtuh. Kita memerlukan lebih dari sekadar perbaikan sistem; kita membutuhkan restorasi jiwa, demikian pernyataan tersirat dari dialog antara Radin Intan II dengan sang Ibunda.

Restorasi berarti mengembalikan sesuatu ke bentuk aslinya yang murni. Selama ini, nilai Piil sering disalahgunakan (distorsi) untuk membela “nama baik” kelompok atau dinasti meski dalam kesalahan. Restorasi Piil Pesenggiri menuntut kita untuk berani berkata: “Lebih baik kehilangan jabatan daripada kehilangan Piil (harga diri) karena mencuri hak rakyat.

Karenanya untuk itu menghadapi masalah kejahatan korupsi yang merupakan “ektra ordinary crime/kejahatan luar biasa” tidak lagi dengan pilihan kata Evolusi Kebudayaan melainkan Revolusi kebudayaan yang hal tersebut bukan berarti menghapus adat, melainkan membersihkan karat-karat keserakahan yang menempel pada praktik adat. Kita perlu mengembalikan Piil Pesenggiri dari sekadar “Harga Diri yang Konsumtif” menjadi “Kehormatan yang Kontributif”.

Piil Pesenggiri bukanlah dogma kuno yang statis. Ia adalah filosofi hidup masyarakat Lampung yang berdiri di atas lima pilar harga diri. Dalam konteks anti-korupsi, kita harus merekonstruksi maknanya:

Piil (Harga Diri/Kehormatan): Menegaskan bahwa kehormatan seorang pemimpin tidak terletak pada kemewahan hasil lancung, melainkan pada integritas dan nama baik yang tak tercela.

Juluk-Adok (Gelar/Gengsi): Mengembalikan esensi gelar sebagai beban tanggung jawab sosial, bukan sekadar simbol status untuk melanggengkan nepotisme.

Baca Juga:  Lampung Diinjak-injak Corona

Nemui-Nyimah (Sifat Terbuka/Murah Hati): Mengubah perilaku “nyimah” yang sering disalahartikan sebagai gratifikasi menjadi kemurahan hati yang tulus untuk melayani rakyat.

Nengah-Nyappur (Pergaulan/Kesetaraan): Membangun transparansi dalam pergaulan politik agar tidak ada kesepakatan-kesepakatan gelap di balik pintu tertutup.

Sakai-Sambayan (Gotong Royong): Mengarahkan semangat kolaborasi untuk mengawal pembangunan, bukan bergotong-royong dalam melakukan mufakat jahat (korupsi kolektif).

 

1. Rekonstruksi Makna Kehormatan (Piil)

Selama ini, Piil sering disalahpahami sebagai “gengsi” yang harus dikejar dengan materi—seperti pesta adat mewah atau kepemilikan harta. Revolusi ini harus menekankan bahwa:

Kehormatan adalah Integritas: Seseorang baru boleh merasa memiliki Piil jika ia jujur. Seorang koruptor, menurut hukum moral adat, seharusnya dianggap sebagai orang yang telah kehilangan Piil-nya (Mak makhupa—tidak berwujud sebagai manusia beradab).

Sanksi Sosial Adat: Menghidupkan kembali “rasa malu” melalui pengucilan sosial adat bagi mereka yang terbukti merampok uang rakyat. Gelar adat atau kedudukan dalam kekerabatan harus dicopot jika terbukti korupsi.

2. Transformasi Nemui Nyimah (Anti-Gratifikasi)

Nemui Nyimah (keramahtamahan) adalah kekuatan sosial Lampung, namun sering disalahgunakan untuk melegitimasi suap.

Revolusi: Menegaskan pemisahan antara “sedekah/hadiah” dengan “kewajiban jabatan”. Masyarakat harus diedukasi bahwa memberi sesuatu kepada pejabat untuk memuluskan urusan bukanlah bentuk Nemui Nyimah, melainkan penghinaan terhadap marwah pejabat tersebut sebagai pelayan rakyat.

3. Reformasi Juluk Adek (Kepemimpinan Berbasis Merit)

Gelar Juluk Adek sering kali diberikan kepada tokoh karena jabatan politiknya, bukan karena jasa atau integritasnya.

Revolusi: Lembaga Adat (Penyimbang) harus menjadi filter moral. Gelar adat tidak boleh “dijual” atau diberikan kepada mereka yang memiliki rekam jejak kotor. Jabatan publik harus dipandang sebagai amanah yang setara dengan menjaga kesucian gelar adat.

Baca Juga:  Lagu Lama Kaset Baru

 

 

 

4. Mengaktifkan Kembali Fungsi Pengawasan Komunal

Sistem sosial Lampung memiliki struktur yang sangat kuat hingga ke tingkat tiyuh (desa) dan pekon.

Sakai Sambayan sebagai Pengawasan: Budaya gotong royong harus diarahkan menjadi pengawasan partisipatif. Warga harus merasa bahwa jalan yang rusak karena dikorupsi adalah penghinaan terhadap Sakai Sambayan mereka.

Strategi Implementasi: Dari Kurikulum hingga Mimbar Adat

Untuk mewujudkan revolusi ini, diperlukan sinergi konkret:

Pendidikan Berbasis Karakter Lampung: Memasukkan filosofi Piil Pesenggiri yang anti-korupsi ke dalam kurikulum muatan lokal di semua jenjang sekolah.

Pakta Integritas Tokoh Adat: Mendorong para pemimpin adat untuk secara kolektif menyatakan perang terhadap korupsi dan menolak aliran dana hasil korupsi masuk ke dalam kegiatan-kegiatan adat.

Digitalisasi Kearifan Lokal: Menggunakan media sosial untuk mempromosikan narasi bahwa “Lampung Hebat adalah Lampung yang Jujur”, bukan Lampung yang bermewah-mewah dari hasil jarahan.

Kesimpulan: Restorasi Piil Pesenggiri adalah sebuah janji suci kepada generasi mendatang. Ini adalah perjuangan untuk memastikan bahwa tanah Lampung bukan hanya gerbang Sumatera secara geografis, tetapi juga menjadi gerbang integritas nasional. Saatnya kita berhenti menjadikan adat sebagai kedok kejahatan, dan mulai menjadikannya sebagai pedang yang mampu memutus rantai korupsi. Jika Piil Pesenggiri tegak, maka korupsi akan runtuh dengan sendirinya di bawah kaki kehormatan kita. Revolusi kebudayaan ini bertujuan menciptakan kondisi di mana masyarakat Lampung tidak lagi memuja kekayaan hasil korupsi, melainkan memuja integritas sebagai bentuk tertinggi dari harga diri (Piil). Dengan harapan semoga Catatan tahun 2025 Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK menjaring Bupati Lampung Tengah, Ardito Wijaya. Dengan segala modus dan motifnya yang sangat klise namun miris yaitu menggunakan uang suap proyek lebih dari Rp5,7 miliar untuk menutupi utang kampanye (biaya politik) tidak terjadi lagi ditahun-tahun mendatang.

Baca Juga:  Jelajah Hukum Terkait Penanganan Laporan atas dugaan pengrusakan tanam tumbuh di atas tanah 23 SHM Milik Masyarakat Way Kanan

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed