oleh

Menang Sejati tanpa Mengalahkan

-Opini-67 views

Oleh : Gunawan Handoko

Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak telah sampai pada tahapan pemungutan suara pada 27 November 2024 lalu. Meski baru melalui hitung cepat atau quick count, namun hasilnya sudah dapat diketahui, siapa pasangan calon kepala daerah yang mendapat kepercayaan rakyat untuk memimpin lima tahun ke depan. Sebagai bagian dari masyarakat Lampung, siapapun kita wajib bersyukur, karena pelaksanaan pemungutan suara untuk pasangan calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur serta pasangan calon Bupati/Walikota dan calon wakilnya, telah berlangsung dengan aman dan damai. Kita pun berharap bahwa semua pasangan calon kepala daerah telah siap untuk meraih kemenangan dan siap pula untuk menerima kekalahan. Bagi pihak yang menang, kita berharap, tidak bersikap jumawa dan lupa diri. Dan yang kalah, juga tetap bisa menegakkan kepalanya tanpa harus diselimuti perasaan nista dan hina-dina. Apapun hasilnya merupakan ketetapan Allah yang wajib diyakini, bahwa dibalik semua ini tentu ada hikmahnya. Sambil menunggu ketetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang hasil penghitungan suara, tidak ada salahnya kita mengingat kembali ungkapan seorang RM. Sosro Kartono yang sangat populer, yakni ’menang tanpa ngasorake atau menang tanpa mengalahkan’. Boleh jadi, ungkapan tersebut merupakan pesan moral yang seharusnya dipedomani oleh setiap petarung sejati, dalam pertarungan apa saja. Tidak salah jika masih ada yang bertanya, bagaimana mungkin seseorang bisa menang kalau tidak mengalahkan. Bukankah bila yang satu memenangi, pasti ada pihak lain yang dikalahkan. Memang, ’menang tan ngasorake’ bukanlah sebuah ungkapan yang berdiri sendiri. Ungkapan tersebut akan bermakna lebih jelas setelah dirangkai dengan ungkapan lain, yakni ’nglurug tanpa bala’ (menyerbu tanpa pasukan), ’sekti tanpa aji’ (sakti tanpa ajian), atau bahkan ’duwur tan ngungkuli’ (tinggi namun tidak melampaui) serta ’kebat tan nglancangi’ (cepat namun tidak menyalip). Sifat-sifat inilah yang melekat pada diri seorang manusia pinunjul atau manusia agung, yakni para pemimpin. Diakui bahwa deretan ungkapan tersebut penuh dengan aroma paradoksal, namun justru didalamnya bersemayam spirit yang paling khas dalam pola pergaulan masyarakat Indonesia sebagai orang Timur.
Dari ungkapan diatas, maka jelaslah bahwa seorang pemimpin harus memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri, sabar, santun, dan tidak emosional. Tanpa itu, justru yang terekspresikan adalah hasrat untuk meraih keunggulan dengan jalan mengalahkan, tidak peduli itu akan meng-asor-kan atau merendahkan pihak lawan. Dalam bahasa sederhana, ’menang tanpa ngasorake’ sebagai sebuah imperatif halus untuk senantiasa rendah hati (bukan rendah diri) dan tidak congkak. Dengan begitu pula, tidak akan terjebak pada sikap menyombongkan kekuatan, kekuasaan, kekayaan maupun kepintaran dan memandang mitra tarungnya dengan sebelah mata.
Sungguh tidak mudah untuk menjalankan tata kelola atas kemenangan, apalagi kekalahan. Lebih-lebih jika harus menjadi pemenang sejati yang tidak lupa diri atau menjadi pihak yang kalah yang bisa menerima atas kekalahannya secara ksatria dengan penuh kelapangan dada. Sekalipun demikian, ukuran atas kemenangan bagi setiap orang tidaklah selalu sama. Itu lantaran setiap orang memiliki persepsi yang tidak sama terhadap kemenangan. Yang pasti, jika sudah berani masuk di tengah gelanggang pertarungan, seseorang haruslah siap menang, juga mesti juga kalah. Sikap menerima dengan ikhlas terhadap kekalahan adalah kemenangan tersendiri yang bukan tidak mungkin akan menjadi investasi besar untuk menggapai yang lebih besar dan bahkan agung di lain kesempatan Di situlah optimisme mesti diletakkan dengan lambaran sikap ksatria, bahwa kekalahan bukanlah akhir dari segalanya. Socrates telah mengajarkan kepada kita bahwa politik adalah kesantunan. Politik adalah martabat dan harga diri, sehingga dalam berpolitik, seseorang harus memiliki keutamaan moral.
Dalam tataran praksis, politik adalah ilmu dan seni yang berorientasi pada upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Maka manakala kepentingan masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraannya terabaikan, sesungguhnya hal ini telah menodai politik itu sendiri. Perilaku santun adalah keniscayaan yang seharusnya menjadi sandaran tingkah laku dalam berpolitik, sebab dalam politik perbedaan adalah hal yang lumrah. Maka jika memaknai perbedaan tanpa memahami makna kandungan aplikasinya, justru akan menimbulkan konflik. Segala bentuk perbedaan akan menciptakan sebuah kebersamaan manakala kesantunan menjadi landasan pijak atau pondasi dalam bersikap, bertutur kata, dan bertingkah laku. Moralitas akan menuntun seseorang untuk menghargai perbedaan pendapat. Moralitas dan kesantunan akan membimbing seseorang pada sebuah komitmen atau kesepakatan, sehingga perbedaan menjadi benih untuk mewujudkan kebersamaan. Memang, pada kenyataannya yang selalu abadi dalam berpolitik adalah kepentingan. Artinya, selama kepentingannya sama, maka kelanggengan dapat terjaga. Meski terkadang kita tidak sadar bahwa kepentingan yang dilanggengkan itu justru melanggar nurani atau menabrak rambu-rambu kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Yang pasti, apabila perilaku politik menjauhi moralitas, baik sengaja maupun tidak, maka adegan yang akan terjadi selanjutnya adalah saling hujat, beradu argumentasi atau saling klaim dengan mengusung tema kepedulian akan nasib rakyat.
Kita sedang menunggu apakah para kandidat benar-benar memiliki sikap ksatria (bahkan ksatria pinandhita), atau sebaliknya. Semua akan terlihat setelah pertarungan yang sesungguhnya, yakni pemungutan suara usai dilaksanakan.
* Penulis: pemerhati politik dari LSM Puskap Provinsi Lampung.

Baca Juga:  Restorative Justice melalui Hukum Pidana Adat Lampung

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed