Pandemi COVID-19 melahirkan kosakata baru, “covidiot”. Dalam Urban Dictionary, covidiot didefinisikan sebagai orang yang bebal, keras kepala, sukar mengerti, tidak cepat tanggap, serta acuh tak acuh menghadapi pandemi COVID-19.
Di tingkat global, beberapa pemimpin dunia telah menjadi covidiot dengan sikap dan pernyataan mereka yang menganggap remeh penyebaran dan dampak dari pandemi corona. Trump tentu contoh covidiot yang paling populer, kemudian diikuti oleh Bolsonaro di Brasil dan Obrador di Meksiko. Sikap bebal dan pernyataan menyelepekan yang mereka tunjukkan di bulan-bulan awal pandemi kemudian menjadi pil pahit yang harus mereka telan, pandemi corona merenggut nyawa hampir setengah juta jiwa di tiga negara yang dipimpin oleh mereka, para covidiot.
Pada tingkat individual banyak sekali covidiot yang hidupnya berakhir dengan tragis karena menyepelekan penyebaran Coronavirus. Walaupun di laman media sosial hampir setiap hari ada berita atau testimoni tentang covidiot yang terjangkit virus kemudian meninggal dunia, tetap saja setiap hari juga bermunculan covidiot-covidiot baru yang mempertontonkan sikap dan pernyataan meremehkan covid.
Di Indonesia beberapa kali beberapa pejabat sempat membuat pernyataan yang menyepelekan dan membuat kebijakan yang membingungkan, mulai dari Menteri Terawan, Menteri Budi Karya, Menko Mahfud, Menko Luhut dan beberapa anggota kabinet lainnya. Bisa jadi karena dikelilingi oleh para pembantu covidiot itulah maka Presiden Jokowi sampai hari ini belum berhasil menurunkan kurva penyebaran kasus baru di Indonesia.
Ketika negara-negara lain sudah sukses menekan laju pertambahan kasus baru dan menampilkan kurva menurun dan melandai, kurva Indonesia masih terus mendaki menuju puncak. Ketika negara-negara lain sudah bersiap-siap untuk menghadapi gelombang kedua penyebaran, Indonesia masih terus bergumul dengan gelombang pertama yang tidak juga kunjung selesai.
Beberapa hari yang lalu saya mendapat kiriman video dari seorang teman, rekaman sambutan resmi Gubernur Lampung dalam sebuah acara di rumah makan sahabat beliau yang sejak beliau dilantik menjadi gubernur sering sekali membuat acara di sana. Mungkin karena Mahan Agung (pendopo gubernuran) sedang direnovasi dan kebetulan konon kabarnya sahabat beliau itu juga yang memenangkan lelang pekerjaannya. Biarlah soal itu menjadi tulisan yang lain, kita kembali lagi ke materi yang ada dalam rekaman video.
Dalam rekaman berdurasi singkat itu, Gubernur Arinal di awal sambutan menyampaikan ucapan duka cita atas wafatnya Sekdaprov DKI Jakarta akibat Coronavirus. Kemudian beliau mengingatkan tentang ketentuan ajal dan hubungannya dengan COVID-19 sebagai lantarannya, setelah itu beliau mengajak untuk bersikap optimis jangan terlalu khawatir dengan pandemi. Sampai di situ belum ada yang salah, semua yang mendengar sambutan itu tentu sependapat dengan apa yang beliau sampaikan.
Pada detik berikutnya sikap optimisme itu kemudian melintas melampaui batas menjadi sikap menyepelekan, “kita injak-injak saja” dan “anggap saja tidak ada” menjadi kalimat penutup yang memasukkan beliau dalam definisi covidiot. Pernyataan paling kontroversial yang pernah diucapkan oleh seorang Gubernur bahkan mungkin oleh pejabat publik di Indonesia selama 6 bulan pandemi.
Beberapa hari sebelum pernyataan kontroversial itu, saya juga mendapat kiriman beberapa foto dari teman yang lain. Dalam foto-foto itu tampak seseorang yang sangat mirip dengan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Lampung didampingi seorang pengusaha yang konon juga sahabatnya gubernur sedang bercengkerama duduk dan berbicara dalam jarak dekat di tengah kerumunan orang tanpa memedulikan protokol kesehatan. Padahal Juru Bicara Satgas Provinsi Lampung sehari sebelumnya sudah menyampaikan dalam keterangan resmi bahwa kerumunan di pantai dan tempat-tempat wisata berpotensi menjadi klaster baru penyebaran pandemi.
Secara individual sikap menyepelekan itu sudah salah dan membuat pelakunya menjadi covidiot apalagi jika yang melakukannya seorang pejabat publik apalagi salah satu dari anggota forum komunikasi pimpinan daerah (forkopimda). Lebih ironis lagi jika itu dilakukan justru oleh unsur pimpinan daerah yang mestinya menjadi aparatur penegakkan hukum yang diatur oleh Perppu dan regulasi lainnya terkait pandemi COVID-19.
Kembali ke video sambutan yang sama, pada saat wawancara Gubernur Arinal untuk kesekian kalinya menyampaikan klaim Lampung sebagai daerah terbaik dalam tata kelola penanganan pandemi, mengalahkan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia.
Pada laman Google dan software mesin pencarian lainnya saya tidak dapat menemukan satupun berita tentang penghargaan atau apresiasi dari Presiden Jokowi atau Satgas Nasional untuk Gubernur Arinal atau Pemprov Lampung terkait tata kelola penanganan pandemi kecuali berita soal menang lomba buat video “New Normal” di akhir Juni. Presiden Jokowi hanya pernah sekali menyampaikan apresiasi kepada lima provinsi yang dianggap beliau sebagai yang terbaik dalam penanganan pandemi dan Lampung tidak termasuk di antara lima provinsi itu, apresiasi yang disampaikan oleh Presiden Jokowi di Istana Bogor pada tanggal 15 Juli yang lalu di hadapan para Gubernur se-Indonesia.
Tidak masuknya Lampung di antara lima provinsi yang diapresiasi Presiden Jokowi itu hal yang lumrah, sebagaimana pernah saya tulis sebelumnya, dari parameter-parameter yang digunakan dalam WHO Situatuon Report, tidak ada satupun parameter yang dapat dipenuhi oleh Lampung khususnya parameter rasio PCR-Test, Positivity Rate dan Angka Reproduksi Efektif (Rt).
Karena itu saya khawatir Gubernur Arinal selama ini gagal faham menganggap kemenangan pada lomba buat video itu sebagai bukti bahwa Lampung menjadi yang terbaik dalam tata kelola penanganan pandemi secara komprehensif. Beliau seperti kesulitan membedakan mana yang maya dan mana yang nyata, antara apa yang ada dalam rekaman video yang dibuat oleh tim kreatif dengan apa yang sesungguhnya terjadi di kehidupan nyata.
Jika klaim ini sampai sekarang masih terus menerus beliau yakini dan sampaikan kepada publik maka ada dua kemungkinan;
1) jika tidak sengaja dilakukan berarti beliau gagal faham alias kurang pandai memahami,
2) jika sengaja berarti beliau telah melakukan kejahatan karena dengan sadar menyampaikan kebohongan yang dapat menyesatkan (misleading) publik.
Semoga klaim itu masih terus diyakini hanya karena ketidaksengajaan beliau saja bukan karena beliau sengaja berbohong untuk gagah-gagahan di depan publik. Dampaknya akan menjadi terlalu berat bagi publik jika pemimpinnya selain Covidiot juga mengidap Mythomania, penyakit mental yang menggunakan kebohongan untuk menutupi kekurangan.
Nizwar Affandi
Naudzubillah min dzalik.
Komentar