BANDARLAMPUNG – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Eksekutif Daerah Lampung meminta Pemerintah Provinsi Lampung agar segera Mencabut Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP-OP) Pasir Laut PT Sejati 555 Sampurna Nuswantara (SSN), dan PT Makmur Anugerah Mandiri Sejahtera Di Perairan Laut Lampung.
Permintaan itu disampaikan melalui Surat Nomor:021/B/ED/WALHI_LPG/IV/2020 ditujukan kepada Gubernur Lampung dan Nomor:022/B/ED/WALHI_LPG/IV/2020 kepada Ketua DPRD Provinsi Lampung.
“Kondisi bumi hari ini mengalami krisis yang luar biasa yaitu Perubahan Iklim dan Pandemik Virus Corona (Covid-19), untuk itu dalam memperingati Hari Bumi Ke-50, WALHI Lampung meminta pemerintah provinsi untuk tegas dalam upaya-upaya penyelamatan lingkungan hidup di Provinsi Lampung yaitu mencabut Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP-OP) PT Sejati 555 Sampurna Nuswantara (SSN) dan PT Makmur Anugerah Mandiri Sejahtera di perairan Laut Lampung, yang saat ini sudah menuai konflik sosial, berdampak pada kerusakan lingkungan dan hanya menguntungkan korporasi,” kata Direktur Eksekutif WALHI Lampung, Irfan Tri Musri, dalam pernyataan tertulisnya kepada Fajar Sumatera, Rabu (22/4).
IUP-OP PT Sejati 555 Nuswantara Nomor : 540/12979/KEP/II.07/2015 seluas 1.000 hektar dan Nomor : 540/12980/KEP/II.07/2015 seluas 1.000 hektar di Desa Margasari, Sukorahayu, Kecamatan Labuhan Maringgai, Lampung Timur dan PT Makmur Anugerah Mandiri Sejahtera Nomor : 540/14496/KEP/V.16/2017 seluas 996 hektar di perairan laut Kecamatan Dente Teladas, Tulang Bawang.
Saat ini, penerbitan izin tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Lampung dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Masyarakat sekitar, ujar Irfan, menolak adanya rencana pertambangan pasir laut dengan alasan yang cukup jelas dan beralasan bahwa aktivitas pertambangan hanya akan merusak alam dan menguntungkan pengusaha semata.
Sementara masyarakat hanya menerima dampaknya yaitu sumber penghidupan masyarakat yang akan hancur apabila aktivitas pertambangan terus berjalan, karena mayoritas masyarakat adalah nelayan yang menggantungkan hidupnya dari hasil tangkapan hasil laut.
“Masyarakat mana yang dengan ikhlas membiarkan sumber-sumber kehidupannya dirusak oleh orang lain yang dapat menimbulkan hilangnya mata pencaharian masyarakat. Selain itu lokasi rencana pertambangan tersebut juga berlokasi di Kawasan Konservasi Perairan Laut Lampung yang berbatasan dengan Taman Nasional Way Kambas,” katanya.
Dengan adanya rencana aktivitas yang eksploitatif tersebut, saat ini, sudah terjadi konflik sosial antara masyarakat sekitar wilayah pertambangan dengan pemilik usaha pada 7 Maret lalu.
Kejadian serupa juga pernah terjadi pada 2016 lalu.
Masyarakat juga sudah sangat terlalu sering menyampaikan protes dan penolakan mereka, baik kepada Pemerintah Provinsi Lampung, DPRD Provinsi Lampung, maupun Kementerian Kelautan dan Perikanan.
“Namun ternyata hasil protes-protes yang dilakukan tersebut, Pemerintah Provinsi Lampung menunjukkan keberpihakannya kepada korporasi bukan kepada masyarakat pesisir dan nelayan,” tegasnya.
Menurut WALHI Lampung ketiga IUP-OP pasir laut tersebut cacat administrasi dalam penerbitannya karena tidak sesuai dengan amanat UU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil.
Selain itu, di dalam Perda Provinsi Lampung Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (RZWP3K) disebutkan Provinsi Lampung mulai 2018 – 2038 tidak ada peruntukan ruang laut untuk pertambangan kecuali pertambangan minyak dan gas bumi.
WALHI Lampung menilai saat ini pemerintah provinsi masih belum serius melakukan pencabutan izin terhadap perusahaan yang memiliki izin pertambangan pasir laut di wilayahnya.
Aktivitas-aktivitas dilakukan oleh masyarakat merupakan suatu bentuk protes masyarakat terhadap negara yang abai mendengarkan aspirasi dan melindungi lingkungan hidup.
“Kalau Pemerintah Provinsi Lampung tegas mencabut seluruh izin pertambangan pasir laut yang ada, maka bisa dipastikan tidak ada konflik sosial antara masyarakat dan korporasi yang terjadi,” ujarnya.
Sudah saatnya Pemerintah Provinsi Lampung bertindak tegas dan mendengarkan aspirasi rakyatnya serta melakukan kerja-kerja yang pro rakyat dengan mencabut seluruh izin pertambangan pasir laut dan bukan hanya menunggu sampai izinnya habis, namun tidak ada penyelesaian di tingkat masyarakat. (*)