Bandar Lampung – Minggu, 12 April 2020 publik ‘dikagetkan’ atas tersiarnya informasi tentang dugaan pungutan liar (pungli) yang menimpa para narapidana di salah satu Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) atau Rumah Tahanan Negara (Rutan) di jajaran Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum-HAM) Provinsi Lampung.
Kabar itu berangkat dari pemberitaan sejumlah media online. Dalam laporan para pewarta, ada yang kurang; lokasi dari peristiwa itu tidak disebutkan. Cuma menyebutkan bagaimana pola dugaan pungli itu berlangsung; dilakukan oknum sipir; nilai punglinya Rp 5 juta sampai Rp 10 juta.
Kabar itu membuat Kemenkum-HAM RI ‘gempar’. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly memerintahkan Tholib –Inspektur Wilayah II pada Inspektorat Jendral– untuk turun ke Provinsi Lampung. Kabarnya Yasonna ‘marah’, ia kemudian membuat pernyataan melalui video untuk mencopot anak buahnya, mulai dari Kepala Kanwil, Kepala Divisi Pemasyarakatan, Kepala Rutan dan Kepala Lapas; jika informasi itu benar-benar terjadi. Dia juga menerjunkan tim untuk menelusuri peristiwa itu.
Tholib tidak sendiri. Ia dapat dukungan dari Kadivpas Kanwil Kemenkum-HAM Lampung Edi Kurniadi untuk menelusuri informasi itu. Kemenkum-HAM RI, menggunakan diksi tim investigasi untuk rombongan Tholib dan Edi Kurniadi. Alih-alih ditugasi mencari informasi, dua tim ‘investigasi’ itu ‘menyerah’. Katanya, kesulitan mencari informasi yang disiarkan pewarta.
Bukan hanya menyerah. Tim ‘investigasi’ itu meminta tambahan informasi dengan cara ‘memeriksa’ pewarta penulis kabar yang membuat gerah tersebut. Hingga pada kesimpulan; tim ‘investigasi’ itu tidak menemukan hasil alias zonk. Alasannya; lokasi dari peristiwa itu tidak dirincikan dalam pemberitaan.
Pernyataan soal belum adanya hasil tim investigasi datang dari Kepala Kanwil Kemenkum-HAM Provinsi Lampung Nofli. Dia bilang, informasi itu cukup sulit untuk diurai. Ia ingin para pewarta yang tahu tentang hal itu, menyampaikan informasi tambahan. Disertai dengan bukti yang selengkap-lengkapnya, alias terima beres.
“Secara internal kami juga buat tim investigasi. Sampai sekarang, saya juga belum tahu apa hasilnya. Belum ada ini, kita masih kesulitan mencari dan teman-teman wartawan tolonglah sebutkan dimana lokasinya, petugasnya siapa dan buktinya. Pasti kita akan tindak tegas,” kata dia saat kami wawancarai , Kamis, 23 April 2020.
Tak ubahnya seperti Nofli. Tholib pun begitu. Dua kali Tholib menyatakan bahwa hasil ‘tim investigasi’ itu; belum membuahkan hasil. Timnya mengalami ‘kesulitan’.
“Kami belum ada gambaran sampai saat ini. Kan kita belum menemukan. Maka itu, kalau tidak ada kerjasama dari teman-teman (pewarta_read) kita enggak akan bisa menemukan. Sedangkan kami melakukan pemeriksaan merujuk dari berita teman-teman,” kata Tholib kepada awak media di Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Kamis, 16 April 2020.
Bagaimana tidak membuahkan hasil, Tholib bilang gini, ”Untuk lapas (Lembaga Pemasyarakatan_read) dan rutan (Rumah Tahanan Negara_read) juga enggak semua kita periksa. Jadi cuma sampling, karena kan waktunya juga enggak memungkinkan untuk memeriksa lapas dan rutan yang ada di Lampung ini. Karena kan samplingnya mantan narapidana yang bebas itu kan juga banyak sampai 1.200-an, jadi enggak mungkin seluruh Lapas dan Rutan”. Bisa dimaknai, penelusuran tidak dilakukan secara meluas.
Sabtu, 25 April 2020, Tholib kami wawancarai. Hari sebelumnya sesi tanya jawab sudah kami ajukan. Tholib berkata bahwa ia telah menemui pewarta yang menulis informasi itu. Tapi dia pulang dengan tangan hampa. Tholib menyampaikan bukti tentang percakapannya dengan pewarta tersebut. Tholib juga menerakan bukti hasil tanya jawabnya dengan sejumlah sumber; keluarga narapidana yang menjalani program asimilasi; para narapidana dan petugas. Hasilnya tetap sama; sumbernya kompak mengatakan tidak ada pungutan. Bukti-bukti itu kemudian disampaikannya kepada pimpinannya.
Tudingan Plt Dirjenpas Nugroho Atas Produk Jurnalistik
“Kemudian dengan isu (dugaan jual beli tiket program asimilasi atau dugaan pungli asimilasi_read) ini, penting sekali. Karena isu itu pernah terjadi di apa namanya, di dua koran media massa. Yang pertama di salah sebuah provinsi, konon ada yang eee 5 juta atau berapa, langsung diterjunkan eee tim investigasi ke sana. Yaitu inspektorat jenderal bukan kami.
Setelah ditelusuri terutama yang keluar yang asimilasi dan kemudian wartawannya. Ternyata mereka tidak ada bukti. Dan tidak ada mana? Dan tidak bisa menunjukkan itu. Jadi clear.
Kemudian di Jakarta. Kalau di Jakarta malah media massa diajak tuh. Masuk ayok coba masuk ke dalam, ayo siapa yang dimaksud, tidak ada.
Jadi ini menjadi penting nih. Di awal pelaksanaan Permenkum-HAM Nomor 10 Tahun 2020 ini, bapak Menteri Hukum dan HAM, saya ingat tanggal itu, tanggal 31 Maret. Ketika tanggal 1 April mulai dilaksanakan, tanggal 31 Maret menyampaikan itu…..”
Ini adalah penggalan kalimat yang diucapkan Plt Dirjenpas Kemenkum-HAM RI Nugroho saat dia menjadi narasumber dari program Rosi di Kompas.TV, Kamis, 23 April 2020. Tersiar dan kami tonton lewat channel Youtube Kompas.TV. Ucapan itu diungkapnnya pada menit 01:52. Tonton: Isu Jual Beli Tiket Asimilasi, Ini Klarifikasi Kemenkumham – ROSI (Seg 4)
Plt Dirjenpas Kemenkum-HAM RI Nugroho menyebut produk jurnalistik dari pewarta di salah satu provinsi, tidak berbasis data dan fakta. Produk jurnalistik yang dimaksudnya itu, berisi informasi tentang dugaan pungli Program Asimilasi dan Hak Integrasi Narapidana.
Dia bilang informasi dari produk jurnalistik itu tidak dapat dibuktikan, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Ia berkesimpulan: hasil pengusutan atau penelusuran atas informasi dugaan pungli di salah satu provinsi itu sudah clear and clean. Artinya terbantahkan.
Catatan: Tudingan kepada pewarta dan media massa yang dimaksud Nugroho tidak dirinci; tidak menyebut nama media, dan daerah asal usul produk jurnalistik itu secara detail.
Walau begitu, Nugroho menyisakan petunjuk. Sejumlah hal yang disebutnya sepertinya tertuju pada produk jurnalistik yang terbit dari Provinsi Lampung.
Petunjuk Nugroho yang pertama; dia bilang informasi dugaan pungli itu terbit lewat media cetak di salah satu provinsi.
Petunjuk kedua; produk jurnalistik itu memuat informasi tentang kisaran uang yang diduga pungutan senilai Rp 5 juta.
Petunjuk ketiga; buntut dari tersiarnya kabar itu, Nugroho bilang tim investigasi dari Inspektorat Jendral diterjunkan untuk melakukan penelusuran.
Petunjuk keempat; dia bilang tim pengumpul informasi telah menemui narapidana dan wartawan atau pewarta penulis produk jurnalistik tentang kabar dugaan pungli asimilasi.
Petunjuk kelima; Nugroho berkata pewarta tidak dapat menunjukkan bukti dari terbitnya produk jurnalistik tersebut. Maka ia berkesimpulan; berita itu tidak dapat dipertanggungjawabkan sehingga isu dugaan pungli itu clear alias terbantahkan.
Plt Dirjenpas Nugroho melalui Kabag Humas dan Protokol pada Ditjenpas Rika Aprianti belum merespon upaya permintaan wawancara yang kami ajukan, Jumat, 25 April 2020.
Tholib berhasil kami wawancarai. Dari wawancara dengan dia, Tholib menyertakan sejumlah bukti. Dalam perjalanannya ke Provinsi Lampung; ia telah melakukan pengumpulan informasi dari keluarga narapidana dan kepada pewarta penulis informasi dugaan pungli asimilasi. Hasilnya yang ia temui; tidak mengandung informasi valid tentang dugaan pungli seperti hasil reportase pewarta kepada publik di Provinsi Lampung.
Tholib tidak dalam posisi mengetahui, apakah yang dimaksud Plt Dirjenpas Kemenkum-HAM RI Nugroho merujuk kepada hasil-hasil kegiatannya di Provinsi Lampung atau tidak. Yang jelas, dia berkata bahwa dia sudah menemui sejumlah sumber, baik dari sisi pewarta, narapidana, keluarga narapidana, bahkan memeriksa petugas.
“Kalau soal itu yang berhak menjawab tentu pak Plt, kalau dari sisi tugas kami di Lampung. Tim sudah melakukan investigasi ke semua lapas dan rutan yang ada di kota Lampung, dan memang hasilnya belum menemukan indikasi adanya pungli. Pemeriksaan dilakukan kepada beberapa napi yang mendapat program asimilasi maupun kepada keluarga yang menjamin juga petugas,” jelasnya saat dihubungi, Sabtu, 25 April 2020. Tholib melakukan koreksi. Jajaran lapas dan rutan yang disasarnya adalah di Kota Bandar Lampung. Sebelumnya dia menyebut, Kota Lampung.
Tholib mengaku sudah menemui seorang pewarta dari media ternama di Provinsi Lampung. Dia bahkan meminta sejumlah hal dari pewarta tersebut, meliputi; narasumber, siapa oknum petugas yang menerima uang; berapa jumlah uangnya; dan bukti pemberian uang.
“Bahkan sesuai niat baik untuk dibantu fasilitasi bertemu dengan sumber berita kalau perlu tidak ketemu langsung yang penting bisa disampaikan pada saat membayar, kepada siapa uangnya diberikan, berapa jumlahnya dan ada tidak tanda buktinya. Supaya tim dapat mengambil langkah-langkah untuk proses lebih lanjut, tapi hasilnya sesuai dengan itu (bukti yang diterakan Tholib kepada kami_read),” terangnya.
Penyampaian Tholib barusan ini persis dengan apa yang disampaikan oleh Nugroho. Kami bahkan telah menemukan petunjuk pertama yang ditinggalkan Nugroho. Terbitnya informasi itu di media cetak seperti yang disampaikan Nugroho; benar adanya. Tanggal terbit informasi itu terjadi pada 13 April 2020 –sehari sesudah informasi dugaan pungli itu tersiar lewat media online.
Kemenkum-HAM Setengah Hati
Tholib saat kami tanya, kalau memang mendapati fakta demikian, kenapa tidak melakukan pengaduan produk jurnalistik? “Langkah tersebut menjadi tanggung jawab pimpinan kami,” katanya.
Padahal, aturan tentang aduan produk jurnalistik tersebut tersedia. Laman resmi Dewan Pers memuat informasi tentang Prosedur Pengaduan Ke Dewan Pers.
Pada Bab I Ketentuan Umum di Pasal 1 disebutkan bahwa pengaduan adalah kegiatan seseorang, sekelompok orang atau lembaga/ instansi yang menyampaikan keberatan atas hal-hal yang terkait dengan karya dan atau kegiatan jurnalistik kepada Dewan Pers. Teradu adalah wartawan. Yang jelas, keterangan secara keseluruhan dari pasal tersebut ialah memuat klasifikasi tentang bagaimana proses pengaduan idealnya berlaku. Baca: Prosedur Pengaduan Ke Dewan Pers.
“Kan ada mekanisme seperti itu. Pertanyaannya, kenapa tidak pakai mekanisme aduan sesuai dengan apa yang diatur oleh Dewan Pers. Karena tidak dilakukan seperti itu, publik akan beranggapan, jangan-jangan mereka tidak serius dalam persoalan ini. Bisa dibilang, setengah hati. Kalau memang benar-benar, ya jalani mekanisme yang ada. Gitu aja kok repot,” ujar Akademisi Yusdianto saat kami hubungi. (Ricardo Hutabarat)