Pagi itu, langit seperti wajah mantan yang tak mau move on,mendung, murung, dan membebani.Layaknya beban hutang Din Bacut Cs di kedai Janda Gemoy Dek Yanti.
Tak lama hujan turun dengan syahdu,deras tak berhenti. Seperti isak tangis warga miskin yang kelaparan, tak mendapat bansos karena bukan kerabat Lurah.
Di sudut kota Bandar Ngapung yang dulu katanya akan jadi destinasi wisata air (tanpa embel-embel bencana), meskipun baru saja banjir melanda dan mengambil tiga nyawa warga Kota Bandar Ngapung. itupun belum dihitung korban sebelumnya.
Kantin Dek Yanti tetap buka seperti biasa. Dindingnya lembap, kopi Slemon tetap diseduh, dan radio tua mengumandangkan lagu lawas “Tiada Guna Janjimu”. Cocok sekali dengan situasi politik setempat, banyak kepala daerah yang baru dilantik dan siap menunaikan janji. Termasuk walikota Bandar Ngapung, Ipah Dewiyanah.
Di kursi panjang yang menghadap ke got yang kini telah bermetamorfosis menjadi sungai darurat, duduk empat pria yang wajahnya lebih kusut dari laporan keuangan pemkot.
Lebih kusut dari mantan Bupati Lintang Timur yang kalah Pilkada dan ditahan kejaksaan perkara kasus gerbang Pemda bahkan tragisnya, Istri sang mantan Bupati, Iyus Robeah di PAW hanya karena beda dukungan dengan pilihan ketua Partai Kok Begitu (PoKaBe), si Ninik Gemoy.
Din Bacut, mengenakan jas hujan dari karung beras dengan cap “beras raskin 2016”, mengaduk kopinya dengan sendok warung yang sedikit bengkok sambil menghisap rokok tanpa cukai Mamih Barew
Ia sudah tiga kali menikah dan saat ini sedang mengincar Janda Kelurahan Sebelah, dua kali hampir jadi lurah, dan satu kali nyaris tenggelam gara-gara selokan depan rumahnya jebol.
“Setiap musim hujan, kita kayak ikan cupang, hidup di akuarium,” gumamnya pelan, tanpa menatap siapa-siapa.
Parnokromo, pensiunan linmas yang kini lebih sering duduk di warung ketimbang di rumah, hanya mengangguk. Ia sedang menjemur celana dalam di atas kipas angin, sambil menyeruput kopi Slemon yang terkenal dengan khasiatnya—sekali teguk langsung bisa move on, meskipun banjir belum surut dan mantan masih ngutang.
Sudir Sengot duduk paling pojok. Mukanya keriput, seperti plastik kresek yang kelamaan kena panas motor. Ia mantan guru , tapi kini lebih dikenal sebagai pelatih zumba, hanya karena ingin mengintip lekukan dan semlohoynya ras terkuat di Bumi saat menari zumba.
Ia tak banyak bicara, tapi sesekali mencatat sesuatu di buku kecil yang selalu ia bawa,daftar janji politisi yang belum ditepati. Halamannya sudah penuh, bahkan sudutnya digambar hati-hati, supaya tidak terlewat satu pun kebohongan.
Supri Surikiti, satu-satunya yang masih percaya teori konspirasi bahwa banjir tahunan ini adalah agenda tersembunyi para pemilik showroom perahu karet, memukul meja pelan.
“Walikota kita itu, Dek Yanti, bukan manusia biasa. Beliau titisan embun. Datang-datang lembut, hilangnya diam-diam, kayak pelayanan publik di Disdukcapil. ”
Dek Yanti, pemilik kantin dan mantan TKW di Arab yang kini punya keahlian mencium bau kebohongan dari jarak dua meter, hanya tertawa sambil mengisi ulang termos air panas.
“Ngomong-ngomong soal Ipah Dewiyanah…” suara dari pojokan kantin mengagetkan mereka. Seorang pria tua dengan jaket lusuh dan topi bertuliskan “Jurnalisme atau Mati!” muncul dari balik rak Indomie.
Ia adalah Rustam Silobilobi, jurnalis senior yang dulu pernah mewawancarai menteri dalam keadaan mabuk kopi pahit.
Sepahit nasib petani singkong di Provinsi Lintang, harga dipermainkan pabrik. Sementara pemda dan DPRD asyik berpangku pemandu lagu.
“Rakyat di bawah air, pejabat di atas jembatan megah,” katanya sambil menyalakan rokok linting yang baunya seperti masa depan—tidak jelas.
“Sudah tiga orang meninggal hari ini,” lanjutnya lirih. “Dan tahu apa yang dibilang Bu Wali? ‘Kami sudah bekerja maksimal.’ Maksimal untuk siapa, itu yang belum jelas. Mungkin untuk salon langganan dia.”
“Walikota tak sepenuhnya salah, jika anggota dewan mau lebih bersikap keras dan berpihak kepada rakyat,”tukas Rustam.
” Anggota dewan cuma bisa pamer di medsos dekat sama rakyat saat kampanye, sesudah itu lupa. DPRD dan walikota gagal jamin keselamatan warganya,” Sergah Din Bacut.
Kantin hening. Bahkan radio tua pun mendadak statis, seperti menahan napas.
Parnokromo lalu membuka HP-nya dan menunjukkan foto Jembatan megah yang dibangun dengan anggaran setara perbaikan 78 saluran air. “Ini katanya simbol kemajuan. Tapi tiap hujan, kita semua tenggelam. Kecuali dia. Dia malah glowing sambil menari-nari di atas Jembatan megah yang katanya bermanfaat.
Sudir membuka bukunya. “Janji Pilkada lalu Kali akan dipengkolkan. Realisasi 2025: Sungai tetap lurus, tapi arah pembangunan yang belok.”
Di luar, hujan turun lagi. Pelan tapi konsisten. Seperti air mata warga yang sudah lupa bagaimana caranya marah.
Toporondo menyelesaikan kopinya. “Kopi Slemon ini hebat. Bisa move on dari mantan, tapi gak bisa move on dari trauma banjir.”
Dan mereka tertawa. Tertawa pahit, seperti kopi itu sendiri.
Di luar, air makin tinggi. Tapi di dalam kantin, harapan tetap hangat, selama termos masih penuh dan tawa belum tenggelam sepenuhnya.
Komentar