Pagi di Provinsi Latak Litung tak pernah seramai ini sejak polemik petani singkong dan pabrik tapioka yang memutuskan potongan sangat tinggi. Belum lagi dengan biaya parkir semalam yang nilainya ratusan ribu, serta oknum dewan yang katanya juga meminta jatah ke pabrik Tapioka.
Tapi hari ini, semua obrolan mengarah ke satu nama Universitas Litung. Kampus negeri tertua yang dulunya disebut “mercusuar ilmu pengetahuan,” kini lebih pantas disebut kandang plagiator intelektual.
Desas-desus yang berhembus melalui angin Mamiri hingga angin malam sehingga membuat masuk angin mengungkap rahasia besar, bahwa petinggi universitas Litung diketahui melakukan plagiat terhadap sejumlah artikel.
Publik provinsi Latak Litung heran, tak henti Kampus yang banyak mencetak pejabat dan orang penting di provinsi itu terus membuat ulah.
Karena sebelum Rektor Prof. Lossyeh Demenpiti, pendahulunya justru mendekam di hotel prodeo karena kasus penerimaan mahasiswa baru. Prof Sodom Coromoney terbukti bersalah menerima sejumlah uang dari orang tua mahasiswa dengan kompensasi lolos di fakultas favorit dan saat sidang terungkap ada nama-nama besar di provinsi Latak Litung yang ikut bermain.
Di sudut Kedai Dek Yanti yang sudah berusia puluhan tahun, tiga tokoh yang selalu duduk di bangku kayu sebelah kiri kembali berkumpul.
Din Bacut, pensiunan guru moral yang kini lebih sering mengajari buaya tentang arti kesetiaan.
Amir Bingut, mantan aktivis yang gagal nyaleg tapi sukses jadi duta poster hilang kucing. Dan Ali Bekot, tukang parkir yang percaya jika cinta pertama nya saat remaja dulu akan kembali dalam bentuk lain.
Kopi Slemon mereka mengepul. Kopi khas yang jika diteguk sekali saja, katanya bisa bikin mantan tak lagi terbayang. Slogan di dinding kedai berbunyi: “Sekali Minum Langsung Move On.” Tapi pagi itu, yang susah move on justru mereka sendiri.
Berita di portal media online selalukepo.com mengabarkan jika Rektor Universitas Litung, Prof. Lossyeh, bersama wakil rektor dan beberapa profesor serta Doktor diduga melakukan plagiarisme intelektual.
Mereka menggandakan artikel dari Google Scholar, hapus nama asli penulis, tempel nama sendiri, lalu pamerkan sebagai hasil riset brilian.
“Plagiat berjamaah,” tulis dalam berita online, “Ilmuwan kita ternyata ilmuwan fotokopian.”
Din Bacut menggoyang-goyangkan gelas kopinya. “Dulu kami menulis pakai mesin tik, tinta darah, dan airmata idealisme. Sekarang? Klik kanan, salin, tempel.”
Amir Bingut mengangguk berat. “Mereka bukan cuma copy-paste tulisan. Mereka juga copy-paste gelar, copy-paste kehormatan. Bahkan mungkin, copy-paste doa ibu.”
Ali Bekot menambahkan sambil menatap serius ke langit-langit: “Gawatnya, nanti mereka nulis disertasi tentang kejujuran dengan footnote hasil ngambil dari blog orang.”
Skandal itu menyebar cepat. Para akademisi tua murka, mahasiswa bingung antara kecewa atau lega—sebab akhirnya ketahuan kenapa revisi skripsi mereka selalu ditolak, mungkin karena tak cukup meniru dengan baik.
Prof. Lossyeh Demenpiti sempat membela diri di televisi lokal. Katanya itu cuma “ketidaksengajaan sistemik.” Tapi rakyat Latak Litung sudah kenyang dengan istilah-istilah akademik yang berbelit-belit tapi miskin makna.
Bahkan Dek Yanti sendiri sempat berkomentar sambil mengaduk kopi: “Kalau sistemik, artinya sudah dari dulu niat curang tapi rapi.”
Kampus itu dulu punya motto: Veritas Lux Scientia, kebenaran adalah cahaya ilmu. Kini, mahasiswa mengubahnya menjadi Veritas Lux Scanneria, kebenaran adalah hasil scan PDF.
Saat sore menjelang, Din Bacut meneguk habis kopi Slemon-nya. Ia menatap matahari terbenam seperti sedang mengirim pesan lewat sinyal Wi-Fi batin. “Zaman sudah berubah,” katanya pelan, “Dulu ilmu dicari dengan jalan panjang, sekarang cukup pakai Google dan niat curang.”
Komentar