oleh

Kereta Gantung Bandar Ngapung

-Din Bacut-174 views

Di tengah guyuran hujan yang tak kenal belas kasihan, kota Bandar Ngapung kembali berubah menjadi kolam ikan lele. Anak-anak sekolah berenang ke kelas, ojek online memakai pelampung, dan sepeda motor dijadikan perahu darurat.

Tapi di atas semua itu, Wali Kota Epah Dewiyana justru sibuk menyiapkan proyek mercusuar ya, Kereta Gantung Tali Berseri, yang katanya akan membawa “harapan ke langit”.

Entah itu harapan apa, yang pasti warga kota Bandar Ngapung sudah putus asa dengan polah Epah yang acuh dengan banjir yang terus mendera.

 

“Harapan siapa? Harapan developer properti?” gumam Din Bacut, sambil duduk di kursi plastik bekas barang bukti kasus pengadaan toilet darurat Dinas Sosial, Meja di hadapannya tak kalah heroik, dulunya adalah meja rapat Kepala Dinas yang sekarang mendekam di Lapas Rabajasah karena menyulap anggaran bibit pohon menjadi biaya pelesiran ke Dubai.

 

Dek Yanti, pemilik kedai Kopi Slemon (Sekali Minum Langsung Move On), menyajikan tiga cangkir kopi hitam kental. Satu cangkir untuk Din Bacut, pegiat kampanye “Kopi Tanpa Gula Demi Moral Bangsa”, satu lagi untuk Amir Bingut, mantan tukang sound system kampanye yang kini menganggur karena idealisme, dan yang terakhir untuk Mat Kidas, eks calo CPNS yang tobat setelah ketahuan menjual SK palsu di grup WhatsApp keluarga.

 

Di dinding kedai, terpampang poster bekas spanduk kampanye: “EP4H UNTUK SEMUA! TRANSPARANSI, INOVASI, KERETA GANTUNG!”  huruf A diganti angka 4 biar kekinian.

 

“Kota banjir saban bulan, mayat ngambang bisa digoyang, tapi duit digelontorin buat kereta terbang,” gumam Amir sambil mengaduk kopinya yang sudah pahit dari sananya.Sepahit Nasibnya yang selalu ditolak cinta oleh Janda mantan Pak Lurah Kaliwawi.

Baca Juga:  Kartu Pak Tani Bergaya Versus Singkong Goreng

 

“Saya nggak ngerti, ini wali kota atau EO pesta pernikahan? Sukanya yang heboh-heboh tapi nggak ada gunanya,” tambah Mat Kidas, yang sejak insaf jadi penceramah dadakan di warung-warung.

 

Sementara itu, air dari selokan depan kedai sudah naik setinggi mata kaki. Ikan sapu-sapu berenang masuk kedai, seolah ikut nongkrong. Dek Yanti santai saja, “Kalau banjir terus, bisa kita buka cabang Kedai Slemon floating edition. Tambah nilai jual.”

 

Din Bacut membuka lembaran koran yang sudah separuh basah. “Epah: Kereta Gantung akan Membawa Wisatawan Menyaksikan Kota dari Atas.” Din mengernyit. “Lha dari atas kelihatan jelas dong, betapa banjirnya menyeluruh. Mungkin niatnya jadi wisata bencana.”

 

“Tiketnya berapa?” tanya Amir.

 

“Gratis buat influencer, berbayar buat rakyat.”

 

Mat Kidas menunjuk lantai yang mulai licin karena lumpur. “Jangan-jangan nanti kami disuruh naik kereta gantung buat ke pasar. Jalan kaki udah mustahil, naik perahu malah dikira kabur dari penjara.”

 

Mereka tertawa, getir. Di pojok, seekor kecoa naik ke atas dispenser, mungkin dia juga ingin pindah ke dataran yang lebih tinggi.

 

Dek Yanti menambahkan, “Dulu saya kerja di Arab, susahnya minta ampun. Tapi nggak pernah saya lihat pemerintah sana bikin cable car di tengah padang pasir banjir. Lah ini… kota dibanjiri masalah, solusinya malah bikin wahana.”

 

Di luar, sirine pemadam meraung. Bukan karena kebakaran, tapi karena ada warga nyaris tenggelam di lobang proyek gorong-gorong yang tak kunjung selesai. Wajah Epah Dewiyana muncul lagi di TV kedai, kali ini dengan latar belakang maket kereta gantung, menyampaikan visi “Bandar Ngapung Terhubung, Terbang Bersama Impian”.

Baca Juga:  Siluman Menggugat Kerajaan Karang Tembung

 

Mat Kidas berdiri, menggulung celana. “Kalau banjir makin naik, saya nyalon jadi kepala dinas Perahu. Slogan saya: ‘Ngambang Bukan Malu, Tapi Solusi.’”

 

Tertawa meledak lagi di kedai itu, menggetarkan kursi-kursi korupsi, meja-meja penggelapan, dan kenangan buruk tentang janji-janji pembangunan. Di langit, petir menyambar, seperti ingin ikut menertawakan semuanya—meski dengan nada getir.

 

Hujan belum reda. Di luar kedai Kopi Slemon, air makin naik. Warga sudah mulai memindahkan kursi ke atas genteng. Di antara suara gemericik air dan gorengan basah, masuklah Parno Keling, lelaki berkumis miring yang konon dulunya satpam di kantor DPRD sebelum dipecat karena terlalu sering nyanyi lagu protes saat apel pagi.

 

Parno membawa dua benda, ban dalam truk dan sepatu pantofel basah. Ban itu jadi pelampung pribadi, sepatu itu bukti bahwa dia sempat mencoba tampil rapi sebelum terseret arus di depan kantor Dinas PUPR.

 

“Barusan saya hampir wafat di lubang proyek!” seru Parno. “Katanya mau bangun saluran air, nyatanya yang digali cuma lubang anggaran.”

 

“Parno, kamu masih hidup aja udah prestasi,” kata Din Bacut, mengangkat gelas kopi tanpa gula seperti mengangkat manifesto perlawanan.

 

Lalu masuk tokoh paling absurd Jamil Slebew, pemuda eks-YouTuber prank yang sekarang mengaku jadi konsultan spiritual pembangunan kota. Jamil datang dengan helm proyek palsu dan rompi bertuliskan ‘Visioner’.

 

“Saya barusan dari kantor walikota,” kata Jamil dengan suara dramatis, “nggak sengaja nyasar karena saya kira itu showroom mobil.”

 

“Kok bisa nyasar?” tanya Amir Bingut.

 

“Karena lebih banyak mobil mewah parkir di situ daripada di dealer.”

 

Jamil lalu duduk di kursi kayu bekas meja barang sitaan KPK. Ia membuka tasnya dan mengeluarkan maket mini kereta gantung dari kardus mie instan.

Baca Juga:  Konspirasi Kacung Bupati

 

“Nih,” katanya bangga. “Ini desain versi rakyat. Kereta gantung ini nanti bukan buat wisata, tapi buat evakuasi banjir. Lintasan khusus dari Kantor Dinas PUPR langsung ke Masjid Raya. Jadi saat darurat, pejabat bisa kabur duluan.”

 

Parno menyambar, “Terus rakyat naik apa?”

 

Jamil menjawab serius, “Rakyat tetap naik perahu. Tapi disediakan hiburan live TikTok di tiap pos banjir, biar nggak stres.”

 

Mat Kidas menepuk jidat. “Ini negara serius atau wahana fantasi?”

 

Dek Yanti, yang dari tadi hanya diam sambil menggoreng tempe setebal naskah APBD, akhirnya bicara, “Kalau memang proyek kereta gantung itu dibangun di atas penderitaan rakyat, saya cuma minta satu hal pas peresmian, jangan lupa kasih sabuk pengaman buat nurani.”

 

Semua diam. Bahkan ikan sapu-sapu pun berhenti berenang, mungkin sedang merenung.

 

Kemudian, Jamil Slebew mengangkat maket kereta gantungnya dan berkata seperti sedang orasi, “Kita bukan menolak kemajuan, kita menolak kebodohan yang dibungkus brosur mewah! Banjir bukan takdir, tapi akibat tender ngawur!”

 

Seruan itu menggema di kedai. Mereka bersulang dengan kopi pahit tanpa gula, tanpa harapan manis, tapi penuh semangat.

 

Di luar, air naik selutut. Tapi di dalam Kedai Slemon, suara rakyat makin tinggi.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed