Siapa yang tidak kenal dengan Peribahasa “nila setitik, rusak susu sebelanga”. Sayangnya, yang menjadi korban adalah “Nila”,yang bukan siapa-siapa, tapi selalu dipersalahkan.
Satu kesalahan kecil, satu kebijakan keliru, atau satu pejabat menyimpang bisa membuat seluruh kerja keras, program unggulan, bahkan citra kepala daerah ikut tenggelam dalam lumpur persepsi publik.
Sialnya, “Nila” itu kerap kali berbentuk kelompok kecil yang sangat dekat dengan lingkar kekuasaan,orang sekitar, makelar proyek, oknum pejabat yang diangkat bukan karena kapasitas, tapi karena kedekatan.
Dan karena satu dua nama yang bermain dalam proyek, jual beli jabatan, atau memaksakan tenaga pendamping titipan, kepala daerah yang awalnya dipuja sebagai pemimpin transformatif tiba-tiba dicap sama buruknya.
Padahal, tidak semua kepala daerah berniat buruk. Banyak dari mereka membawa idealisme, semangat perubahan, bahkan nilai religiusitas yang tinggi.
Tapi seperti kata Bung Hatta, “Korupsi menjadi budaya ketika pemimpin abai terhadap perilaku orang-orang terdekatnya.” Ucapan itu menjadi pengingat bahwa kehancuran integritas kadang tidak datang dari musuh, tapi dari dalam rumah sendiri.
Kepala daerah bisa saja serius ingin membawa perubahan, namun jika proses penempatan pejabat tidak berdasarkan meritokrasi, melainkan berdasarkan kedekatan dan utang budi, maka retakan mulai terbentuk.
Seorang pelaksana tugas bisa saja dijadikan kepala dinas hanya karena dekat dengan “orang penting”, meskipun ia belum memenuhi syarat struktural dan kepemimpinan.
Hal ini bukan hanya melanggar regulasi, tapi juga merusak kepercayaan ASN yang punya kinerja dan kemampuan, namun tersisih.
Menurut Dr. Nurhadi Wijaya, pengamat kebijakan publik dari Universitas Negeri Sejahtera, “Citra kepala daerah sangat ditentukan oleh siapa yang berada di sekelilingnya.
Mereka adalah cermin, bukan hanya bayangan. Sekali ia keliru menunjuk satu orang, maka publik akan menilai seluruh tubuh pemerintahan ikut cacat.”
Hal senada diungkapkan oleh Presiden Soekarno dalam pidatonya tahun 1961,“Pemimpin itu harus seperti matahari, tapi juga harus tahu siapa yang berdiri di sekitarnya.
Karena bayangan itu bisa menjadi gelap jika ia tidak tahu dari mana datangnya cahaya.”
Di sinilah letak ironi yang menyedihkan. Di satu sisi, “Nila” hanya setitik saja langsung disalahkan dan dibuang, dijadikan kambing hitam oleh sistem.
Tapi di sisi lain, ada sosok yang selalu “berjasa”, selalu dianggap pahlawan,Budi. Si Budi inilah yang selalu hadir dalam bentuk “jasa saat kampanye”, “penyelamat elektabilitas”, “penyandang logistik”, atau bahkan “anak orang yang dulu membantu waktu susah”.
Tak heran jika akhirnya banyak jabatan bukan diberikan kepada yang pantas, tapi kepada yang paling berjasa menyelamatkan dompet politik.
Maka kita pun mengenal istilah “hutang budi dibayar jabatan”. Bahkan ada yang bercanda di warung kopi, “Kalau namamu Budi, besar kemungkinan kau bisa jadi dirut atau kepala dinas, asal jasamu terekam baik di kepala daerah.”
Sementara Nila, bisa saja seorang staf jujur yang tak punya beking, atau seorang kepala bidang yang bersikap kritis. Cukup satu kesalahan, keterlambatan, atau bahkan laporan tanpa izin, maka ia segera diturunkan, dipindah, bahkan disingkirkan.
Tidak ada ruang maaf untuk Nila, tapi Budi selalu diberi ruang revisi, bahkan kalau perlu diangkat kembali dengan SK baru.
Citra Pemimpin Jadi Korban Hutang Budi
Masalahnya, publik tak peduli siapa Budi, siapa Nila. Yang mereka lihat hanya hasil,apakah pelayanan publik berjalan? Apakah birokrasi sehat? Apakah pejabatnya profesional?
Begitu satu kasus mencuat,entah soal suap proyek, skandal moral pejabat, atau penempatan jabatan ilegal,rakyat akan bertanya:
“Siapa yang melantik?”
“Siapa yang menunjuk?”
Dan akhirnya, semua akan kembali pada pemimpin.
Itulah mengapa, dalam pemerintahan, utang budi adalah utang yang paling mahal, karena dibayar dengan reputasi, kepercayaan publik, bahkan masa depan politik.
Di sisi lain, membiarkan “Nila” dikorbankan hanya karena menolak ikut arus bisa jadi blunder besar.
Hari ini mungkin ia hanya satu titik kecil, tapi jika tak diurus, titik itu akan menyebar jadi bercak, dan akhirnya merusak sebelanga susu yang seharusnya manis.
Sudah saatnya kepala daerah memutus siklus utang budi dan menjunjung meritokrasi.
Jangan biarkan jabatan menjadi alat bayar balik, apalagi jika yang dibayar justru tidak layak.
Karena jika terus dibiarkan, sejarah akan mencatat satu hal,citra kepemimpinan itu bukan dihancurkan oleh oposisi, tapi oleh orang yang pernah dianggap paling berjasa.
Dan jika nanti rakyat kehilangan kepercayaan, jangan salahkan “Nila”. Mungkin yang harus dipertanyakan adalah,
“Kenapa Budi selalu dapat tempat duduk paling depan, meskipun belum tentu bisa baca peta?”
Komentar