Sore itu, di sudut kantin Dek Yanti yang bau kopi tubruk dan asap rokok, Din Bacut duduk seperti raja jalanan yang kehabisan kerajaan.
Kancing bajunya tinggal dua, memperlihatkan perut buncit yang menggelambir bak APBD Badar Lepung yang jebol.
Rokok tanpa cukai mengepul di tangannya, dan meja di depannya penuh ampas kopi, sisa-sisa kemarahan yang tak kunjung reda.
Di kantin itu, Din bukan sekadar pelanggan, ia adalah komentator politik jalanan, filsuf kampung yang lidahnya setajam silet, tapi hatinya sebening air got.
“Astagfirullah, Badar Lepung ini makin gila!” serunya, memukul meja hingga cangkir-cangkir jingkrak. “Bayangin, DPRD kita, yang katanya wakil rakyat, bisa-bisanya ngelolosin anggaran gedung Kejaksaan puluhan miliar selama dua tahun!
Dua tahun, bro! Keuangan kota bolong kayak celana dalam janda enam anak, utang ratusan miliar, tapi masih aja gaya-gayaan mau bangun gedung mewah. Ini bukan kebijakan, ini kebodohan berjamaah!”
Parno Bojoloro, yang duduk di sudut sambil menyeruput Kopi Slemon, nyeletuk dengan nada sinis, “Bukan cuma kebodohan, Bacut. Ini calo surga!” Rini Esboncel, yang sedang mengunyah pisang goreng, nyaris tersedak karena tawa.
“Calo surga! Hahaha, bener banget! Pantesan anggaran gedung Kejaksaan gampang lolos. Wong barterannya bukan akal sehat, tapi tiket umroh!”
Din Bacut mengangguk, matanya menyala-nyala seperti obor. “Ternyata, rahasianya cuma satu yaitu barter jatah proyek plus jatah umroh. Anggota DPRD biasa dapet jatah umroh tiga orang.
Wakil ketua, empat orang. Nah, si Buritnas Yunirata, ketua DPRD dari Partai Burung Terbang, paling rakus, dia dapat jatah lima orang! Umroh, yang harusnya ibadah suci, malah jadi komoditas politik.
Dan lebih gila lagi, jatah umroh itu dijual lagi sama dewan! Bukan buat rakyat, bukan buat partai, tapi buat ngisi kantong mereka sendiri. Laknat betul!”
Kantin kecil itu mendadak riuh. Tawa Rini bercampur dengan umpatan pelan dari Sudir Pekok, yang duduk di bangku pojok sambil mengudut rokok kretek. “Badar Lepung ini kayak rumah tangga minus,” katanya, suaranya pelan tapi penuh muak.
“Belanja gede, duit nggak cukup, tapi masih sok-sokan kredit kulkas baru buat pamer ke tetangga. Bedanya, yang nanggung beban ini bukan satu keluarga, tapi jutaan rakyat!”
Din Bacut menimpali, suaranya makin meninggi, “Walikota Epah Dewiyana itu cuma jago gaya, kerja nol besar! DPRD, Kejaksaan, semuanya brengsek.
Badan Pengawas Keuangan udah bilang tiga tahun berturut-turut keuangan kota kacau balau. Tapi otak mereka cuma isi jatah, setoran, sama bancakan. Kota bangkrut, pejabat mabok umroh, jualan tiket surga!”
Ia menuding udara, seolah-olah Walikota dan DPRD berdiri di hadapannya.
“Walikota sama DPRD itu kayak tukang tambal ban mabok. Bocor di mana-mana, tapi bukannya ditambal, malah nyemprot pewangi biar wangi doang. Padahal dalemnya busuk! Dan Kejaksaan, yang harusnya jadi hakim moral, malah ikut makan nasi bancakan. Jadi jangan salah, gedung itu nanti bukan Gedung Kejaksaan. Itu Gedung Calo Surga Republik Badar Lepung!”
Rini Esboncel ngakak lagi, kali ini sampai air matanya meleleh. “Kejaksaan diem aja, Bacut. Malah senyum-senyum kayak dapat rumah baru dari mertua kaya. Mungkin mereka pikir, ‘Biar rakyat miskin, yang penting gedung kita megah!’”
Dek Yanti, yang selama ini cuma mendengar sambil mengelap meja, akhirnya angkat bicara.
“Minumlah Kopi Slemon satu, Bacut,” katanya datar, “Daripada keburu stroke mikirin Walikota goblok sama dewan brengsek.”
Ia menggeleng, tapi sudut bibirnya sedikit melengkung, seolah setuju dengan setiap umpatan yang terlontar.
Sore itu, kantin Dek Yanti bukan sekadar tempat minum kopi. Ia adalah panggung satire kehidupan Badar Lepung, kota yang dulu bermimpi jadi mutiara, tapi kini karam dalam lumpur korupsi.
Di sana, Din Bacut dan kawan-kawannya terus mengunyah realitas pahit, menertawakannya, dan menelannya bersama kopi hitam.
Karena di Badar Lepung, tawa adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup, selain, tentu saja, membeli tiket umroh dari calo surga yakni puluhan anggota DPRD kota.
Komentar